Harapan Kesejahteran di Tengah Pembangunan

Oleh : Anisa Ibrahim (Aktivis Muslimah)

Tanah adalah sesuatu yang sangat penting dan yang harus dimiliki oleh setiap individu. Karena di atas tanah tersebut mereka dapat melangsungkan hidup. Tanah tersebut dijadikan sebagai tempat tinggal, tempat mencari nafkah, dijadikan sekolah untuk umum, dan sebagainya.

Itulah mengapa tanah atau lahan yang mereka miliki sangat dijaga status kepemilikannya. Namun, di tengah damainya masyarakat dalam menjaga tanah mereka, tiba-tiba datang berbagai macam proyek yang mengancam tanah mereka.

Pemerintah indonesia akhir-akhir ini begitu massif melakukan pembangunan proyek. Berbagai macam Proyek strategis nasional atau PSN dilakukan oleh pemerintah. Dalam membangun proyek tersebut, otomatis pemerintah butuh lahan atau tanah untuk melakukan pembangunan disana.

Namun sayangnya tanah atau lahan yang akan digunakan untuk pembangunan tersebut mayoritas milik masyarakat. Mereka yang sudah bertahun-tahun melangsungkan kehidupan diatas lahan tersebut, harus berhadapan dengan pemerintah yang ingin mengambil tanah mereka. sehingga terjadilah kasus perampasan lahan atau kasus sengketa tanah.

Banyak fakta yang bisa lihat dari kasus perampasan tanah tersebut. Di Gorontalo sendiri, kasus perampasan tanah sudah dari dulu terjadi. Salah satunya terjadi pada salah seorang rakyat yang di berada di kabupaten Gorontalo.

Tanah yang dijadikannya sebagai sumber mata pencarian, tiba tiba datang orang untuk membeli tanah tersebut untuk dijadikan lokasi pembangunan. Tanah tersebut dibayar dengan harga yang tidak sesuai. Akhirnya tanah tersebut tetap digusur dan dibangunkan proyek di atasnya. Dan masih banyak lagi kasus-kasus perampasan atau persengketaan tanah yang terjadi di Gorontalo ataupun di Indonesia. Ibarat kisah lama yang terulang kembali.

Dengan adanya konflik lahan yang terjadi, pemerintah justru membuat aturan yang memudahkan perampasan terhadap lahan masyarakat dengan dalih proyek pembangunan nasional.

Pada Kamis (21/12/2023), Walhi merilis Siaran Pers nomor 5618 “Demi Genjot Proyek Strategis, Jokowi Terbitkan Peraturan Percepat Perampasan Tanah Rakyat”. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023).

Perpres tersebut secara historis memang dikhususkan bagi kelancaran Proyek Strategis Nasional (PSN). Regulasi terkait dampak sosial penyediaan tanah pembangunan nasional bermula dari penerbitan Perpres 56/2017 dan kemudian direvisi melalui Perpres 62/2018. Pada perkembangan terakhir direvisi melalui Perpres 78/2023. Peraturan baru ini memperluas ruang lingkup proyek yang termasuk dalam kategori Pembangunan Nasional.

Maka dengan dalih pembangunan nasional, masyarakat yang mengelola tanah bisa diusir dari tanah tersebut dengan santunan. Solusi yang disebut dengan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional melalui uang dan/atau pemukiman kembali justru melahirkan konflik yang berkepanjangan.

Perpres ini jelas akan membuat konflik lahan makin banyak terjadi pada masa depan. Walhasil, bukannya selesai, konflik lahan akan makin parah. Konflik lahan wajar terjadi dalam sistem kapitalisme yang hanya mementingkan keuntungan semata. Dalih pertumbuhan ekonomi dengan banyak melakukan pembangunan.

Namun, pembangunan yang dilakukan tersebut bukan untuk kebutuhan masyarakat, melainkan untuk melayani kepentingan para pengusaha yang memberikan modal. Kondisi ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam karena Islam memiliki konsep yang jelas tentang kepemilikan lahan. Islam mengakui tiga jenis kepemilikan, yaitu individu, umum, dan negara.

Lahan yang menjadi milik individu rakyat akan dilindungi dan dijamin keamanannya sehingga tidak akan ada pihak mana pun yang merampasnya. Individu pemilik tersebut wajib mengelola lahan tersebut dan tidak boleh menelantarkannya.
Sedangkan kepemilikan umum, seperti hutan, padang rumput, pertambangan, dsb., tidak boleh dikuasai individu (swasta). Yang berhak mengelolanya adalah negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, meski pengusaha punya modal besar, tidak boleh menguasai lahan milik umum. Penguasa (khalifah) tidak boleh memihak pada pengusaha dalam hal konflik lahan. Hal ini karena penguasa di dalam Islam berposisi sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) rakyat, termasuk pelindung dalam hal kepemilikan lahan.

Selain itu, arah pembangunan negara di dalam sistem Islam (Khilafah) adalah menjadikan proyek pembangunan apa pun dilaksanakan untuk kepentingan rakyat, yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat orang per orang, bukan untuk kepentingan segelintir pemilik modal.

Dengan demikian, kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah, misalnya bentuk pembangunannya, besaran dananya, dan sebagainya, adalah kebijakan yang melindungi rakyat dan membawa kemaslahatan untuk rakyat. Inilah solusi hakiki agar konflik lahan tidak terjadi lagi.

Wallahualam bissawab.