Pemberantasan Korupsi Hanyalah Ilusi

Oleh: Alifah Nur Sayfanah (Aktivis Muslimah Gorontalo)

Korupsi di negeri +62 semakin tak terkendali. Hampir di semua jenjang birokrasi baik penjabat tingkat  tinggi hingga pada tingkat bawah. Bahkan dengan jumlah yang bervariasi baik yang jumlahnya puluhan juta hingga miliaran bahkan triliunan. Korupsi saat ini seperti peristiwa yang lumrah dan menjadi budaya dikalangan para abdi negara.

Berdasarkan data ICW, ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat 8,63% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 533 kasus. Adapun menjelang penghujung tahun 2023 dikabarkan bahwa Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menjadi tersangka kasus korupsi. KPK juga menetapkan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta menjadi tersangka.

Kasus yang sama juga terjadi di Gorontalo, ada beberapa kasus dugaan korupsi yang terjadi di Gorontalo diantaranya pertama, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo kembali menetapkan 2 orang tersangka kasus korupsi di PDAM Tirta Bulango, Kabupaten Bone Bolango dengan kerugian negara Rp 24,3 miliar. Kedua,  Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Gorontalo menetapkan dua Pimpinan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Global Gorontalo Gemilang sebagai tersangka kasus korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 897 juta. Ketiga Polresta Gorontalo menetapkan oknum Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) berinisial MMD (41) dan tenaga honorer berinisial NM (42) sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi. Sungguh ironis, korupsi kini semakin membudaya dan mengakar ditengah kondisi rakyat golong koming memenuhi kebutuhan hidupnya, uang yang seharusnya diberdayakan untuk rakyat dinikmati oleh segelintir orang.

Lemahnya Sanksi bagi Para Koruptor

Adanya budaya korupsi yang menjerat para pejabat negara menujukan dan menyadarkan kita akan lemahnya penanganan hukum dan sanksi bagi para pelaku. Adanya hukuman ataupun sanksi yang diberikan  tidak membuat para pelaku korupsi jera, bahkan adanya politik transaksional juga telah melahirkan hukum yang dapat menghindarkan para koruptor bebas dari jeratan hukum. Jika mereka  tertangkap sering dapat pengampunan hukum.

Hal ini terbukti dengan jelas ketika sebanyak 23 narapidana kasus korupsi termasuk diantaranya korupsi kelas kakap  mendapatkan program pembebasan bersyarat dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemenkumham) terhitung mulai Selasa (6/9/2022). Salah satu diantaranya yaitu Mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Choisiyah tersangkut 2 kasus korupsi. Kasus pertama yakni kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar dan yang kedua adalah kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten. Total kerugian yang ditimbulkan akibat kasus korupsi Ratu Atut Choisiyah diestimasikan mencapai Rp 79 miliar.

Tak hanya demikian para korupsi yang berasal dari konglomerat mendapatkan pelayanan yang sangat mewah bak menginap di hotel berbintang 5. Hukuman ditegakkan tak lebih dari pencitraan dan saling sandera bahkan hukumpun bisa dibeli. Tak heran jika keadilan yang diterapkan sekedar dagelan, jauh dari standar keadilan. Sehingga dari sini kita mampu melihat bahwa banyaknya kasus korupsi hari ini bukan karena persoalan atau kesalahan individu melainkan persoalan sistemik yang kemudian sistem aturan saat ini memberikan peluang bagi para pelaku untuk mengulangi perbuatan tersebut.

Hal ini terjadi sebab asas yang diterapkan di dalam peraturan negara saat ini berangkat dari asas pemisahan agama dari kehidupan (sekuler) sehingga manusialah yang kemudian berhak membuat aturan dan tidak lain kebanyakan aturan yang ada disesuaikan dengan kepentingan para konglomerat sekalipun mereka sebagai pelaku korupsi.

Islam Adalah Solusi

Dalam Islam ada tiga aspek yang kemudian harus diperhatikan diantaranya yaitu aspek ketakwaan individu, baik rakyat maupun pejabat negara. Kedua, kontrol baik oleh masyarakat, kelompok, partai politik terhadap kemungkaran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, penegakan hukum oleh negara.
Lemahnya keimanan dalam pribadi para pejabat negara merupakan salah satu faktor pemicu tindakan korupsi.

Sehingganya dalam negara yang menerapkan sistem islam ketakwaan individu sangat diperhatikan terlebih individu tersebut merupakan pejabat negara. Hanya saja mengandalkan individu saja belum cukup mengatasi kasus korupsi. Individu yang saleh, beriman, dan bertakwa tetap akan bisa tergerus idelismenya jika lingkungan tidak mendukung. Maka, perlu adanya lingkungan sosial yang kondusif, baik di lingkungan kerja maupun lingkungan tempat mereka tinggal, saling menyuburkan suasana ketaatan pada Allah dengan selalu bermar ma’ruf nahi munkar.

Jika aspek pertama dan kedua berjalan dengan baik tinggal aspek ketiga yaitu penegakkan hukum oleh negara, dan negara itu adalah negara yang menerapkan sistem islam. Sebagaimana sistem peradilan didalam negara islam akan mampu mencegah dan menindak dengan tegas dan seadil-adilnya para pelaku korupsi tanpa tebang pilih. Sebelum menjabat akan dilakukan penghitungan kekayaan pribadinya. Jika seorang pejabat terbukti melakukan korupsi, maka negara akan menindak tegas dengan menyita hartanya untuk dikembalikan kepada negara, dipecat dari jabatannya dan diberi hukuman yang adil dan tegas.

Adapun untuk memudahkan pengawasan harta para pejabat ini dapat dibentuk semacam lembaga pengawas dan pemeriksa keuangan. Sedangkan sanksi untuk koruptor masuk kategori takzir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti teguran/nasehat sampai yang paling tegas, yaitu penyitaan harta, cambuk, pengasingan hingga hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan (Abdurrahman Al Maliki, Nidhamul Uqubat, hlm. 78-89).

Tak hanya demikian, dalam negara yang menerapkan sistem islam akan mengumumkan pejabat yang terbukti korupsi ke khalayak ramai. Harapannya ini akan menjadi efek jera dan mencegah pejabat lain melakukan hal yang sama. Begitulah gambaran islam dalam mengatasi kasus korupsi. Hanya saja hal ini bisa diterapkan oleh negara yang menerapkan syariat Islam secara sistematis. Wallahu a’lam bish-shawwab.