Satu Nyawa Hilang di Tambang Ilegal Petabo, Masihkah Polres Pohuwato Bungkam?

Penulis : J. Rumampuk (CEO Faktanews.com)

Tragedi kemanusiaan kembali menghantui Kabupaten Pohuwato. Seorang penambang dilaporkan meninggal dunia di lokasi Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) Petabo, Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia, pada Sabtu, 5 Juli 2025.

Namun, alih-alih ditangani dengan penyelidikan serius dan penegakan hukum yang tegas, kasus ini justru mulai dibelokkan oleh sejumlah pihak dengan narasi-narasi yang dianggap menyesatkan dan mencederai akal sehat publik.

Polres Pohuwato kini berada di titik krusial: memilih untuk diam, atau menunjukkan sikap tegas sebagai penegak hukum.

Salah satu keterangan yang beredar menyebut korban tewas tertimpa batu saat sedang buang air besar dan “tidak menyadari keberadaan alat berat di atasnya.” Penjelasan ini memicu gelombang kritik karena dianggap tidak masuk akal dan merendahkan logika publik.

Suara alat berat jenis ekskavator—yang diketahui digunakan di lokasi—terkenal bising dan menimbulkan getaran kuat bahkan dari jarak puluhan meter. Karena itu, sulit diterima bahwa seseorang bisa tidak menyadari keberadaannya, apalagi di area sempit pertambangan ilegal.

Fakta lain yang mengemuka, korban disebut sebagai bagian dari kongsi tambang milik Zainudin Umuri alias Ka Zai. Ini mengindikasikan bahwa aktivitas tambang tersebut berjalan secara terorganisir, bukan dilakukan sembunyi-sembunyi. Nama Ka Zai kini mencuat sebagai salah satu pengendali utama aktivitas PETI di wilayah Potabo.

Namun hingga berita ini diturunkan, belum terlihat langkah konkret dari pihak kepolisian. Tidak ada kabar pemanggilan terhadap pemilik lahan, tidak ada informasi penyelidikan terhadap kegiatan pertambangan yang telah memakan korban jiwa.

Lebih mengejutkan lagi, muncul seorang oknum wartawan yang mengaku sebagai keluarga dari pemilik tambang dan diduga berperan sebagai mediator untuk “meredam” pemberitaan maupun opini publik. Tindakan ini dinilai mencoreng etika jurnalistik dan memperkuat dugaan adanya upaya sistematis menutupi kejahatan lingkungan serta pelanggaran hak asasi manusia.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat: apakah hukum masih berdiri tegak di hadapan praktik tambang ilegal, ataukah telah dilumpuhkan oleh kepentingan dan kekuasaan?

Jika pembiaran terus terjadi, bukan hanya supremasi hukum yang dipertaruhkan, tetapi juga integritas lembaga pers, kepercayaan publik terhadap aparat, serta martabat korban yang meninggal tanpa kejelasan keadilan.

Polres Pohuwato kini dituntut untuk menunjukkan keberanian. Bukan sekadar menjaga citra, tetapi benar-benar menegakkan hukum. Jangan sampai kasus ini bernasib sama seperti banyak tragedi di lokasi PETI lainnya—yang diselesaikan secara “kekeluargaan”, ditutup dengan uang kompensasi, atau diredam dengan janji penertiban yang tak pernah terealisasi.

Satu nyawa telah melayang. Akankah Polres Pohuwato menunggu hingga korban berikutnya jatuh, sebelum hukum benar-benar ditegakkan?