Penulis : Zunairah Fattiyah / Aktivis Muslimah Gorontalo
Tak dapat dipungkiri, dewasa ini kejahatan telah merajalela baik secara global maupun dalam negeri. Khususnya di Indonesia yang saat ini sedang rawan kejahatan sehingga rasa aman tidak lagi didapatkan. Faktanya, kita tak dapat menutup mata terhadap kasus pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, pembullyan, korupsi, dan tindakan kejahatan lainnya yang makin marak terjadi hingga detik ini.
Namun, disaat kejahatan yang makin marak ini, Kemenkumham justru kembali melakukan pengurangan masa tahanan (remisi) bagi pelaku kejahatan bertepatan dengan momen lebaran idul fitri 1445 H. Seperti yang terjadi di Jawa Barat, sebanyak 16.336 narapidana mendapat remisi pada Rabu, 10 April 2024. Bahkan, 128 orang diantaranya langsung bebas pada hari itu juga.(dilansir oleh CNN Indonesia, 10 April 2024).
Hal yang sama terjadi di Sulawesi Selatan, dimana 5.931 warga binaan mendapatkan remisi, 14 diantaranya langsung bebas. (CNN Indonesia 11, April 2024)
Kemenkumham membagi 2 jenis remisi di lebaran tahun ini, Remisi khusus (RK) I Idul Fitri berupa pengurangan masa tahanan selama 15 hari hingga 2 bulan, dan RK II berupa pengurangan masa tahanan langsung bebas setelah menjalani masa tahanan. Secara nasional, total penerima remisi khusus dan pengurangan masa tahanan tahun ini 159.557 orang. (Tirto, 10/4/2024)
Dasar hukum remisi terkandung dalam UU 12/1995 tentang permasyarakatan pasal 14 ayat (1) yang menyatakan bahwa remisi adalah hak narapidana. Satu diantara yang mendapat remisi tahun ini adalah Setya Novanto, Eks Ketua DPR RI yang terpidana karena kasus korupsi dana E-KTP. Koruptor ini ditahun sebelumnya juga mendapat remisi 30 hari, dan ditahun ini ia mendapat remisi yang sama. Bahkan, Ia juga mendapat remisi di HUG RI ke- 78 selama 3 bulan lamanya. ( Tempo,14/4/2024).
Remisi Tidak Menjerakan
Kebijakan Remisi yang merupakan adopsi dari Hindia Belanda ini dinilai tidak menjerakan pelaku. Mengapa tidak? Kebijakan ini hanya menambah pelaku baru. Contohnya saja, betapa banyak kasus pembunuhan yang terjadi hari ini. Tak pernah terlewatkan sehari saja tanpa berita pembunuhan. Bahkan kasus pembunuhan di Gorontalo yang dilakukan Aning masih hangat, pelaku semakin bertambah karena hukuman atau sanksinya tidak menjerakan. Hanya di penjara bahkan di beri pengurangan masa tahanan pula. Apakah bisa menghentikan orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama? Tidak!
Pun, sama halnya dengan kasus korupsi. Maraknya koruptor terjadi karna melihat sanksi yang tak seberapa. Bahkan jika mereka memiliki uang, mudah baginya untuk menyewa pengacara handal, atau memberikan uang tutup mulut pada oknum tertentu, atau paling tidak hidup dalam penjara tapi bisa traveling dan di fasilitasi didalamnya bak hotel, dapat remisi pula. Bukankah demikian yang terjadi?
Saking parahnya kasus kejahatan korupsi di Indonesia sampai disebut “extraordinary crime” yang kejahatannya lama terungkap. Bayangkan saja bagaimana negeri ini kebobolan korupsi Rp 271 T selama bertahun-tahun, dan dengan segala kemewahan diri koruptor yang agaknya tak merasa bersalah sebab telah dihidupi oleh rakyat Indonesia. Sementara, rakyat Indonesia susah payah banting tulang peras keringat mencari sesuap nasi.
Dan yang paling terbaru kasus korupsi di Gorontalo yang dilakukan oleh bupati Bone Bolango, Hamim Pou,yang diduga korupsi dana bansos 1,7 Miliar. Dimana peran negara? Lah kok bisa korupsi merajalela, tapi malah obral remisi? Bagaimana mungkin pelaku akan takut kepada ancaman dan hukuman jika selalu ada kelonggaran dan pemakluman seperti ini?
Sistem Pidana Rusak
Adanya sanksi yang tidak menjerakan disebabkan oleh sistem pidana yang bermasalah. Dimana kita tahu bahwa sistem pidana yang di terapkan dinegeri ini hanyalah warisan hukum dari Belanda yang jelas merupakan buatan manusia. Seperti Kitab UU Hukum Pidana (KUHP), yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS) yang akhirnya di naturalisasi menjadi UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Dan kita pun tak dapat mengelak bahwa saat ini Sistem Pidana bersifat tidak baku, mudah berubah, dan sangat mudah disalahgunakan. Mudah untuk dikendalikan dengan materi. Inilah dampak dari sistem pidana buatan manusia, yang pelakunya mendapat hukuman yang ringan. Padahal Allah mengharuskan bagi pelaku kejahatan untuk dihukumi dengan sanksi yang menjerakan.
Sistem Pidana Dalam Islam
Islam pada dasarnya merupakan agama yang memiliki aturan kompleks. Islam memiliki aturan dalam ibadah dan aturan kehidupan. Salah satunya aturan dalam mengadili perkara, yaitu sistem pidana Islam. Dan kunci terterapkannya sistem pidana Islam adalah penerapan aturan Islam yang tegas dan sesuai aturan dalam al-Qur’an dan hadits.
Dalam sistem pidana Islam, Setiap perbuatan dihukumi dengan sanksi yang menjerakan. Allah SWT berfirman,
“Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizhalimi). (QS. Al-An’am:160).
Dalam sistem pidana Islam, terdapat 3 pilar penegakan hukum. Diantaranya ketakwaan individu sehingga dapat mencegah perilaku kejahatan, adanya amar makruf nahi mungkar yang dilakukan dalam masyarakat sehingga kejahatan dengan cepat terdeteksi, dan pelakunya diingatkan untuk tobat. Serta yang paling utama adalah penegakan sistem sanksi yang adil dan tegas oleh negara.
Islam memiliki solusi preventif, dimana rakyat dipastikan merasakan kesejahteraan dari segi pendidikan yang terbaik,kesehatan,dan keamanan secara gratis sehingga rakyat tidak perlu memikirkaan biaya untuk mengaksesnya. Selain itu, negara memberikan lapangan pekerjaan yang memadai sehingga tidak ada lagi istilah kefakiran dan kesenjangan dimasyarakat.
Selain itu, negara mencegah kejahatan dengan memperhatikan kualitas pendidikan generasi. Sehingga dapat mencetak individu yang beriman dan bertaqwa yang jauh dari kemaksiatan dan kejahatan.
Dari segi penanganan kejahatan, Negara dalam Islam memiliki sanksi yang tegas. Dalam Islam tidak ada yang namanya remisi, karena hal itu jelas tidak menyelesaikan masalah. Islam memiliki sanksi berupa takzir,hudud,jinayah, dan mukhalafat. Serta penerapan sanksi ini berfungsi sebagai jawajir dan jawabir (pencegah dan penebus dosa). Inilah penerapan aturan Islam yang menghasilkan tindak kejahatan hanya terjadi sekitar 200 kasus selama masa pemerintahan Islam yang berdiri selama 13 abad. Sehingga, seharusnya kita butuh untuk mengembalikan kembali aturan yang sempurna ini. Wallahualam.