Polemik pertambangan Pohuwato telah menimbulkan Imbas besar pada kelangsungan pemerintahan Pohuwato. Dimana pada Kamis, 21 September 2023 terjadi insiden yang sangat tidak diharapkan oleh seluruh pihak dan bisa jadi termasuk masyarakat penambang yang berdemo saat itu.
Kejadian yang telah Mencoreng nama baik daerah yang baru-baru ini disebut mianiatur kerukunan, daerah yang dikenal damai kini telah ricuh, penduduknya yang ramah kini telah mengamuk dalam amarah. Peristiwa yang telah meruntuhkan tatanan masyarakat yang rukun dan damai.
Kejadian Luar biasa yang membuat sedih banyak pihak, sebab hasil jerih payah perjuangan para pencetus dan pendiri kabupaten yang dikenal dengan Bumi Panua ini menjadi porak poranda, Kantor Bupati yang menjadi Pusat Pemerintahan daerah otonom ini hangus dilalap sijago merah. Istana yang bukan hanya menjadi Pusat Komando akan tetapi icon/simbol daerah itu kini tinggal puing-puingnya, dan entah kapan akan berdiri kembali bangunan penggantinya.
Terlepas dari itu semua peristiwa ini adalah klimaks dari problematika pertambangan yang berkepanjangan. Dimana masyarakat yang sejak turun temurun telah mengelolah wilayah dengan kandungan logam mulia yang cukup banyak di Asia Pasifik ini telah diusik dari sumber penghidupan mereka.
Di sisi lain kegiatan yang mereka lakukan dinilai ilegal oleh negara, sebab memang tidak sesuai dengan landasan hukum Minerba. Sementara di lain sisi, pemerintah melalui Undang-undang Minerba membuka kran seluas-luasnya untuk investasi pada bidang ini. Tentunya yang namanya unvestasi membutuhkan energi, sumberdaya, dan anggaran yang besar dan para penambang lokal yang melakoni Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) tentunya belum tentu memiliki itu semua.
Mengacu pada hal ini maka masuklah investor yang berkeinginan mengelolah wilayah dengan kandungan bijih emas tersebut. Tentu ini pastinya mengusik mereka yang telah turun-temurun beranak pinak dengan profesi itu. Tambang telah menjadi sumber penghidupan mereka, mereka yang dulunya tinggal dirumah-rumah nipah kini bisa membangun rumah dengan alas keramik, tidak hanya itu tambang inilah yang telah mendongkrak Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Bumi Panua ini meningkat khususnya dimensi pengetahuan dan kehidupan layak. Mereka yang dulunya hanya lulusan SD atau SMP bahkan ada yang tidak selesai sekolahnya, kini mampu menyekolahkan anak-anak mereka kejenjang yang lebih tinggi bahkan pasca sarjana.
Kehadiran investasi tentu merupakan angin segar bagi daerah, akan tetapi juga berimbas kepada masyarakat, apalagi jika itu bersinggungan langsung dengan sumber penghidupan mereka. Disini peran pemerintah diharapkan bisa memediasi titik temu antara Investor dengan mereka yang terdampak dari kehadiran investasi itu.
Pemerintah sebagai penguasa wilayah sekaligus perpanjangan tangan negara untuk melindungi, menghidupi, serta menyejahterakan rakyatnya juga sebagai perwakilan rakyat di daerah seyogyanya bisa bersikap memihak kepada rakyat atau minimal netral di kedua sisi antara investor dan rakyat, bukan menjadi salah satu pemeran yang ikut bermain di dalam yang justru mengundang kecurigaan serta membuat rakyatnya sendiri hilang kepercayaan.
Investor yang dilindungi dan bernaung di bawah legalitas negara tidak serta merta menjadi penguasa dan bertindak semena-mena dengan tuan tanah yang lebih dulu menemukan kandungan hasil bumi yang membuat Investor tergiur mengelolahnya. Investor seharusnya menyambangi pemerintah memohon untuk dapat dimediasi dengan warganya, bukan menjebak pemerintah kedalam pusaran kendalinya sehingga menjatuhkan marwah pemerintah dihadapan rakyatnya sendiri.
Pelaku PETI yang awalnya ngotot menolak investasi berangsur legowo dengan kehadiran investasi tersebut. Mereka yang ‘patah pensil’ itu menyadari bahwa memang profesi yang mereka lakoni selama ini ilegal dimata negara, namun yang perlu diketahui bahwa sekalipun berat bagi mereka untuk beralih profesi dari peran yang sudah lama dilakukan, mereka bersedia melepaskan itu semua dengan 2 syarat utama, yaitu berikan mereka ganti rugi dan carikan wilayah relokasi yang legal untuk mereka, dua hal yang bisa dilakukan oleh perusahaan yang berinvestasi untuk ganti rugi dan peran pemerintah untuk membantu mempercepat serta memperjelas wilayah relokasi yang legal bagi mereka.
Namun kedua hal ini terlalu lama dan terlalu sulit direalisasikan sehingga berbuntut pada peristiwa na’as itu. Para Penambang Lokal merasa telah menunggu terlalu lama atas realisasi dua syarat pokok mereka, bahkan mereka rela melakukan suatu hal yang sebenarnya cukup janggal, dimana mereka yang menempati/mengelolah lahan itu selama ini harus diminta mengajukan proposal kepada para tamu yang datang menumpang mengambil manfaat ditanah mereka sendiri, tuan rumah yang harus minta izin ketamu.
Hal ini tidak mereka pedulikan, proposal dibuat dan diajukan dibawah mediasi berbagai pihak, namun dengan kurun waktu yang cukup panjang yang mereka dapat hanya janji-janji manis tak berbukti, hingga tiba sebuah kepastian kabar pembayaran akan dilakukan, tapi sayang seribu sayang harapan tak sesuai kenyataan yang didapati oleh para penambang itu.
Lokasi yang setiap bulannya bisa menghasilkan beberapa juta hingga puluhan juta hanya mau diberikan ‘tali asih’ yang berkisar antara Rp. 2.500.000 s.d Rp. 3.000.000, tentu ini membuat mereka meradang, mereka merasa seolah-olah ditipu, harga dirinya merasa diinjak-injak, hingga luapan emosinya tak tertahan serta tersulut dan gelap mata, membakar rumah besar mereka sendiri.
Disini ada hal menarik yang perlu kita cermati bersama, perusahaan menggunakan istilah ‘Tali Asih’ yang bisa disimpulkan maknanya adalah sesuatu yang diberikan sebagai bentuk kepedulian atau pengasihan. Artinya perusahaan tidak memberikan ganti rugi tetapi sebuah pengasihan, mungkin perusahaan merasa memang mereka tidak memiliki kewajiban untuk itu.
Nah jika seperti itu seharusnya tali asih tidak hanya didapatkan oleh mereka yang memiliki lokasi saja, dimana notabene rata-rata mereka ini meraup lebih banyak manfaat dan keuntungan dari lokasinya selama ini. Sebab yang kena dampak dari investasi perusahaan bukan mereka saja, pemilik lokasi itu hanya segelintir saja, namun yang tidak sempat diperhitungkan adalah mereka yang berprofesi sebagai pekerja kasar (petugas lubang), kijang (pengangkut barang), ojek, kabilasa, pedagang, dan beberapa komponen yang tidak terdata.
Jika perusahaan menggunakan istilah tali asih tepatnya untuk mereka yang bukan pemilik lokasi sebagaimana disebutkan, nah bagaimana dengan pemilik lokasi tentunya lebih tepat adalah ganti rugi apalagi jika lokasinya tidak dalam wilayah izin investasi, hanya menjadi wilayah terdampak.
Untuk meredam gejolak serta memulihkan stabilitas daerah dua hal pokok yang disyaratkan oleh mereka segera dipercepat realisasinya, selanjutnya harapannya penyelesaian tuntutan ini tidak menimbulkan polemik baru lagi, sebab khawatirnya polemik ini tidak akan kunjung berhenti jika yang diberi pengasihan hanya pemilik lokasi saja, sementara pihak lain yang turut serta terdampak tidak dipikirkan juga.