G. Latarawe : Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pohuwato
Haryanto namanya, pria 42 tahun yang berprofesi sebagai penambang emas di wilayah pertambangan emas Kecamatan Buntulia, Kabupaten Pohuwato, sedang bersiap-siap menuju lokasi dulang emas di kawasan yang konon masuk dalam wilayah konsesi perusahaan tambang emas Pani Gold Project.
Pagi itu (Sabtu/13/8/2023), pukul 7.30 wita saya menemui Haryanto di kediamannya di Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia.
Sinar matahari pagi tampak menembus celah-celah dinding rumah papan berukuran kurang lebih 3×4 itu. Cuaca pagi itu cukup cerah. Dari dalam terdengar balasan salam yang saya ucapkan. Sembari menenteng sebuah tas Haryanto keluar dari bilik dapur dan meminta saya masuk. Kami lantas duduk di teras karena itu permintaan saya.
“Kondisi sekarang semakin susah pak. Baru beberapa bulan kemarin kami dikejar-kejar dengan senapan, bunyi tembakan polisi, peralatan kami dirusak, sekarang kami tidak tahu lagi menjual emas ke mana. Katanya sedang dirazia,” ujarnya mengawali perbincangan.
Haryanto yang mengaku tak pegang handphone android itu pun tak tahu harus ke mana ia mengadu.
“Teman bilang banyak yang buat status di pesbuk (Facebook) soal sulitnya kami menjual emas. Itu betul pak. Ada juga kami dengar katanya toko-toko (pembeli emas) sekarang sedang dirazia Polisi. Katanya perintah Polda apa Kapolda saya juga kurang tahu soal itu.”
“Mau mengadu ke mana pak. Buktinya pemerintah juga sampai hari ini diam. Kami mau tidak mau dipaksa harus menerima keadaan ini,” tuturnya.
Mendengar pengakuan Haryanto, saya lalu mengajukan pertanyaan, bagaimana kemudian Haryanto menghadapi kondisi sulit yang ia maksud, apakah tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukannya?
“Sudah lebih 40 tahun saya menekuni pekerjaan sebagai penambang emas. Anak saya empat orang, 3 sudah lulus kuliah, yang satu masih SMA. Semua hasil dari tambang ini pak. Baru kali ini pembeli emas dilarang beli emas dari kami. Itupun tidak seberapa pak, hanya 1 atau 2 gram yang kami mau jual. Sementara toko yang biasa membeli emas kami sekarang ditutup, sementara kebutuhan hidup sehari-hari harus terpenuhi seperti makan, minum, lalu kami mau jual ke mana? Jual ke kota (Gorontalo) jauh, habis di ongkos,” jelasnya.
“Jika kondisi sulit ini terus seperti ini, kalau ada yang bisa sampaikan suara kami ke pak Kapolri, tolong lihatlah kami, Polisi adalah harapan kami. Tapi di sini (Pohuwato), Polisi jadi hal menakutkan bagi kami penambang. Kami dikejar senapan dan bunyi letusan tembakan. Padahal konon ada setoran-setorang yang tidak sedikit jumlahnya dari hasil tambang yang masuk di kantong oknum (polisi). Kenapa nanti sekarang pembeli emas dilarang dan ditutup,”
“Apakah kami rakyat harus melawan dan bertarung nyawa turun ke jalanan? Jika dengan darah agar kami bisa bertahan hidup, maka kami akan lakukan itu,” ucapnya penuh berani.
Diskusi saya dan Haryanto terhenti, sesorang tengah menunggangi sepeda motor baru saja berhenti tepat di depan rumah Haryanto. Rupanya pria itu adalah sahabat Haryanto yang akan menjemputnya pergi ke lokasi tambang emas.
Haryanto masih ingin berdiskusi dan saya masih ingin tahu banyak cerita tentang penambang emas Pohuwato, namun saya harus mempersilahkannya pergi. Haryanto harus bekerja demi menghidupi keluarganya.
“Inshaallah kita diskusi lagi pak. Jangan sungkan-sungkan datang ke tempat saya. Kopinya dihabiskan dulu, baru kita jalan sama-sama,” pinta Haryanto.