WARTANESIA – Perjalanan hidup Amin Haras, seorang anak petani hingga menjadi Wakil Bupati Pohuwato dua periode, sungguh berat. Maklum, kala itu di tahun 1970-an, kehidupan yang dijalani masyarakat, sangat terbatas, apalagi hidup di wilayah yang jauh dari perkotaan.
Belum lagi bila ingin melanjutkan studi, harus pergi ke kota. Meski ekonomi mampu, tetapi transportasi tidak mendukung, pun demikian apabila keinginan dan ekonomi mendukung, tetapi biaya hidup di kampung orang terasa berat karena kiriman (bekal) dari kampung kadang terlambat akibat transportasi yang tidak tersedia.
Bagi Amin Haras, semua itu harus ia lalui. Karena, bila bertahan di kampung, ia tak bisa berbuat apa-apa selain bertani. Sementara, pendidikan tertinggi yang ada di kampung halaman, hanya sampai Sekolah Dasar (SD).
Pria yang lahir di lemito pada 15 November 1956 silam ini, pernah bersekolah di SDN I Lemito, dan lulus tahun 1970. Ketika lulus orang tuanya enggan melanjutkan pedidikannya karena berbagai pertimbangan yang ada. Apalagi, Lemito kala itu, jauh dari kondisi seperti saat ini. Di mana transportasi dan komunikasi, sangat mudah didapatkan.
Yang terjadi selanjutnya adalah, ketika lulus SD, Amin Haras diajak orang tua (Ayah), untuk berkebun dan membuka lahan, menebang pohon, sampai membajak lahan menggunakan sapi.
Diakuinya, keinginan orang tuanya untuk untuk melanjutkan pendidikan, sangatlah besar. Namun, itu tidak sanggup dilakukan mengingat biaya yang harus dikeluarkan orang tuanya cukuplan besar manakala ia harus bersekolah di rantau.
Setelah dua tahun menekuni pekerjaan orang tuanya yakni berkebun. Amin Haras, anak ketiga dari enam bersaudara ini kemudian memaksakan diri untuk melanjutkan pendidikannya. Ia memutuskan untuk ikut bersama tantenya ke Kota Gorontalo.
Kala itu, untuk pergi ke Kota Gorontalo, moda transportasi yang bisa diakses hanyalah melalui laut. Waktu tempuhnya pun selama sehari semalam. “Tapi sebelumnya, waktu saya sekolah, selain diajak orang tua kerja kebun, juga berdagang atau berjualan beras dari Lemito ke Marisa, dengan menggunakan perahu layar,” kenang Amin Haras.
Tahun 1972, Amin masuk SMP Muhamadiyah, dan tinggal bersama kakeknya. Meski tinggal bersama keluarga, Amin muda harus tetap banting tulang untuk bekerja, demi memenuhi kebutuhan hidup sekaligus meringankan beban orang tuanya.
Biaya yang dikirim dari kampung, hanya untuk bayar keperluan sekolah serta ongkos kenderaan ketika belajar jauh dari tempat tinggal. “Makanan ya apa adanya saja, Jagung biji kering yang digiling, bisa membuat saya bertahan hidup. Kadang jagung itu direbus dan di makan apabila tidak ada uang untuk sewa mesin gilingan,” tutur Amin mengisahkan.
“Kiriman dari kampung kadang tidak rutin dan terpaksa pergi sekolah waktu SMP dan SMA itu berjalan kaki,dengan jarak sekitar dua kilo meter.”
Namun, tekad untuk tetap sekolah, sudah terpendam sangat dalam. Setelah lulus SMP di tahun 1974, Amin Haras kemudian masuk SMA 1 Gorontalo, dan lulus tahun 1977.
Saat lulus SMA dan ingin kembali melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, saat itulah orang tuanya tak lagi memberi respon. Yang terjadi, Amin muda justru disuruh pulang ke kampung.
Kali ini, Amin justru bertaruh nasib. Bermodalkan miliki keluarga di Sulawesi Utara (Manado), ia pun nekat berangkat, naik kapal dari Kota Gorontalo menuju pelabuhan Bitung.
Waktu itu seingat dia, tahun 1978. Ia pun kuliah di salah satu perguruan tinggi, dan duduk di fakultas Sospol. Cara bertahan hidup yang ia lakukan saat itu pun berbeda. “Di saat belajar kelompok, kan banyak teman-teman kuliah yang sudah PNS. Nah, ketika ada tugas buat makalah, saya yang buat dan diberi upah. Alhamdulillah ada tambahan hidup. Untuk kebutuhan sehari-hari berupa makan, sering-sering hutang di warung dan nanti dibayar setelah tiba kiriman,” tuturnya.
Tidak hanya menawarkan jasa membuat makalah saja, Amin Haras pun rela melakukan pekerjaan sampingan lainnya yaitu mencuci pakaian. “Ada seorang pegawai yang tinggal di asrama. Untuk menanggulangi keterlambatan kiriman dari Lemito ke Manado, waktu itu 25 ribu rupiah perbulan, ini masih belum cukup. Alhamdulillah dengan mencuci pakaian orang, saya bisa tambah-tambah biaya hidup,” aku Amin.
Kisah Amin muda tidak semanis yang dibayangkan. Setelah ia lulus kuliah dan sebelum kemudian menjadi Wakil Bupati Pohuwato dua periode, ternyata ada cerita suram dalam perjalanan hidup seorang Amin Haras.
Waktu itu, ketika Amin hendak pulang ke kampung halamannya di Lemito, kapal yang ditumpangi tenggelam. “Itu tahun 1975, kejadiannya di Paguyaman Pantai. Kapal tenggelam dan perlahan masuk ke dasar laut. Alhamdulillah dapat papan, yang dijadikan alat untuk sampai ke darat, dengan menggunakan tangan sebagai pengayuh. Kejadian sekira pukul 4.00 Wita, dan saya mencapai daratan (pantai) sekitar jam 10 pagi,” kenangnya sembari menitikan air mata.
“Kejadian kedua, sama seperti kejadian pertama, ketika masih kuliah di Manado tahun 1981, Kapal KM Kristina yang berlabuh dari Manado menuju Kwandang, tenggelam di Pantai Inobonto akibat kelebihan muatan. Selama sehari semalam kami berada di laut. Syukur Alhamdulillah, Allah masih memberikan umur yang panjang, masih diselamatkan dari bahaya.”
Perjalan karir Amin Haras terbilang mulai dari bawah, dengan golongan ruang IIb, serta penyesuaian setelah lulus kuliah. Mengabdi di Kabupaten Gorontalo sejak tahun 1983 sampai 2000. Dari inspektorat wilayah (Irwil), ia diangkat menjadi Sekcam, kemudain diangkat menjadi Camat Boliyohuto selama 3 tahun (1996-1999).
Amin Haras pernah mejadi sekretaris Irwil dan juga sekretaris Bappeda di tahun 2000.
Selanjutnya, ia pindah ke Kabupaten Boalemo dan menjadi Kabid Bappeda, Kabag Tapem, Assisten Pemerintahan.
Ketika Kabupaten Pohuwato jadi daerah otonom, maka ia pindah dan menjadi Kepala Bawasda (Inspektorat Daerah saat ini), Kadis Pariwisata, kembali lagi kepala Bawasda. Pada tahun 2006, Amin dipercayai menjadi Kepala BPKAD atau BKD saat ini.
Hingga akhirnya, pada Tahun 2009, Amin Haras diminta oleh Syarif Mbuinga, untuk memjadi Calon Wakil Bupati Pohuwato mendampinginya. “Alhamdulillah, saya merasa bahagia bisa mendampingi beliai pak Syarif selama dua periode jadi wakil bupati. Meskipun dalam perjalanannya mungkin terdapat kekurangan. Karena sejatinya, saya dan pak Syarif kodratnya hanya sebagai manusia, yang tak luput dari kekurangan,” pungkas Amin Haras.
Penulis : Iwan Karim/Humas Pemda Pohuwato