Oleh : Hanifah Rasyida (Aktivis Muslimah Gorontalo)
Rencana kenaikan gaji guru pada puncak Hari Guru Nasional, 25 November 2024 sudah diumumkan. Kenaikan alokasi anggaran yang tidak tanggung-tanggung untuk kesejahteraan guru ASN dan non-ASN pada 2025 menjadi Rp81,6 triliun, naik sebesar Rp16,7 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini disebut-sebut sebagai kado manis untuk para guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Presiden menyatakan akan menaikkan satu kali lipat dari gaji pokok untuk yang berstatus ASN sedangkan untuk gaji guru yang non-ASN nilai tunjangan profesinya akan naik sebesar Rp 2 juta rupiah per bulan. Ia menegaskan kebijakan ini adalah bagian dari langkah konkret pemerintah untuk memastikan guru mendapatkan penghargaan yang layak atas kontribusi mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. (Dikutip dari Tempo.co)
Namun, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasesjen) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Mansur, menyatakan pemerintah perlu meluruskan pernyataan mereka terkait kenaikan gaji guru. Karena, pernyataan tersebut dinilai membuat salah informasi di tengah masyarakat luas, termasuk para guru.
Ia menjelaskan guru swasta atau non ASN mengira ada kenaikan fantastis tunjangan profesi sebesar Rp 2 juta rupiah. Padahal, kenaikannya adalah Rp 500.000 ribu dari yang semula sebesar Rp 1,5 juta rupiah. Kenaikan Rp 500.000 ribu pun dapat diperoleh saat guru mengurus dan mendapatkan SK-Inpassing sehingga tunjangan profesi gurunya menjadi Rp 2 juta atau lebih, sesuai golongan yang setara ASN. Sementara itu guru ASN mengira tunjangan profesinya menjadi 2 kali lipat gaji pokok. Padahal, tidak ada perubahan sama sekali kebijakan dari aturan sebelumnya. Tunjangan Profesi Guru (TPG) bagi guru ASN yang sudah mengantongi sertifikat pendidik memang sebesar 1 kali gaji pokok. (Dikutip dari Detik.com)
Hanya saja, untuk mendapatkan gaji Rp1,5 juta itu guru non ASN ternyata dibebani syarat harus memiliki 24 jam mengajar (jam tatap muka dengan peserta didik). Untuk kita ketahui, durasi satu jam mengajar itu sekitar 35-45 menit disesuaikan dengan jenjang pendidikan peserta didik. Sedangkan realitasnya banyak guru non ASN yang telah lulus PPG, tetapi tidak mendapatkan gaji sebesar itu karena jam mengajarnya masih kurang dari 24 jam.
Tidak berhenti sampai di situ. Meski pemerintah juga akan melaksanakan program PPG bagi 806.486 guru ASN dan non ASN pada 2025 nanti, mereka harus memenuhi kualifikasi pendidikan Diploma IV (D4) atau Sarjana (S1). Ini artinya para guru non ASN yang tingkat pendidikannya masih di bawah D4/S1 tidak boleh berharap mendapatkan kenaikan tunjangan. Sedangkan untuk menempuh pendidikan diploma/sarjana untuk menjadi guru, rakyat tentu saja harus mengupayakan sendiri.
Jika kita perhatikan, kebijakan perihal kenaikan tunjangan guru ini bisa dikatakan mendadak. Terlebih, saat ini tengah ramai diperbincangkan mengenai pemberlakuan PPN 12% pada Januari 2025. Kenaikan tunjangan ini jelas tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan para guru. Pasalnya kesejahteraan rakyat tidak hanya berkaitan dengan besaran gaji dan tunjangan yang didapatkan tetapi juga sangat berkaitan dengan kondisi perekonomian yang melingkupi kehidupan masyarakat.
Faktanya masih banyak guru yang mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kekurangan biaya hidupnya. Bahkan tak sedikit yang terjerat pinjol (pinjaman online) hingga judol (judi online).
Berdasarkan survei Data dari Institute for Demographic and Proverty Studies (IDEAS), ditemukan fakta memprihatinkan bahwa 89 persen guru merasa pendapatannya tidak mencukupi, 79 persen memiliki utang, dan 58 persen bekerja sampingann. (Dikutip dari rejogja.republika.co.id)
Hal ini terkait erat dengan sistem kehidupan yang diterapkan hari ini, di mana guru hanya dianggap seperti pekerja, sekedar faktor produksi dalam rantai produksi suatu barang yang tenaganya digunakan untuk menyiapkan generasi yang siap terjun ke dunia kerja (industri). Semakin banyak generasi yang memilki kemampuan bekerja, semakin besar pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi.
Inilah yang terus dikejar oleh sistem ekonomi Kapitalisme. Padahal pertumbuhan ekonomi ala Kapitalisme tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakat, individu per individu. Hal ini diperparah dengan lenyapnya peran negara sebagai pengurus (raa’in) dalam sistem Kapitalisme ini. Negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator. Implikasinya, negara menjadikan pengelolaan SDA dikuasai asing dan aseng, liberalisasi perdagangan, kapitalisasi layanan kesehatan hingga pendidikan.
Karakter penguasa yang sekuler menjadikan mereka jauh dari karakter islam. Pemikiran dan tingkah lakunya menjadikan mereka mudah berbuat zalim (tidak adil) hilang rasa prihatin dan peduli pada rakyatnya hingga tidak mengasihi dan mencintai rakyatnya. Hal ini jelas membuktikan gagalnya sistem Kapitalisme-Sekularisme memberikan solusi dan jaminan kesejahteraan bagi para guru.
Nasib guru tentu akan berbeda dibawah penerapan sistem islam. Islam sangat memperhatikan guru karena guru memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam mencetak generasi yang berkualitas, generasi pembangun bangsa dan penjaga peradaban. Kedudukan guru yang begitu mulia menjadikan kesejahteraannya tidak boleh diabaikan. Kesejahteraanya menjadi tanggungjawab penguasa (Khalifah) apalagi penguasa dalam islam diposisikan oleh syariat seagai penguasa raa’in (pengurus rakyat).
Kesejahteraan guru tentunya berkaitan dengan kualitas pendidikan. Meskipun demikian kualitas pendidikan dipengaruhi oleh banyak hal. Selain kesejahteraan guru, kualitas pendidikan diantaranya juga dipengaruhi oleh kurikulum pendidikan yang diterapkan negara, penyediaan infrastruktur pendidikan, kualitas guru dan lainnya.
Memang benar pendidikan berkualitas memerlukan upaya dan biaya besar untuk mewujudkannya. Namun, hal itu bisa terjadi jika pemerintah berperan penuh selaku penanggung jawab urusan rakyat. Terlebih, pendidikan adalah kebutuhan pokok publik. Jika mahalnya biaya pendidikan dibebankan kepada individu rakyat, tentu akan menghalangi rakyat dari kalangan ekonomi lemah untuk mengaksesnya.
Inilah sebabnya pendidikan semestinya diselenggarakan sepenuhnya oleh negara bagi rakyatnya secara cuma-cuma. Keberadaan pendidikan tidak ubahnya fasilitas umum bagi rakyat sehingga negara harus memberikan jaminan pendidikan kepada rakyat, mulai dari penyediaan guru selaku pendidik, menjamin kualitas guru, menyediakan infrastruktur, sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan, serta menganggarkan seluruh pembiayaannya dari kas negara.
Sejatinya, demikianlah gambaran sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh sistem Islam (Khilafah). Islam mengharuskan negara melalui pemimpinnya untuk bertanggung jawab penuh menjamin kemaslahatan umum, termasuk pendidikan. Dalam islam, negara bukan sebagai regulator, melainkan pe-ri’ayah (raa’in) dan penanggung jawab atas urusan rakyatnya. Dengan begitu, siapa pun yang terpilih menjadi penguasa/pemimpin, ia adalah pemimpin yang amanah dan adil, serta akan menghabiskan seluruh waktunya untuk mengatur hajat hidup rakyatnya.
Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Juga hadis, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).
Negara Islam (Khilafah) juga harus memastikan agar para guru memperoleh gaji yang layak tanpa harus ada tambahan maupun tunjangan tertentu. Pada saat yang sama, hal ini didukung oleh sistem ekonomi Islam yang mengharuskan negara menjamin terjadinya distribusi harta secara merata di tengah-tengah rakyat. Ini untuk memastikan agar tiap individu rakyat bisa hidup sejahtera karena sudah terpenuhi kebutuhan pokoknya berupa sandang, pangan, dan papan.
Negara juga berperan sentral menjaga daya beli sehingga bisa mencegah inflasi dan tidak menyulitkan ekonomi masyarakat. Selain itu, kebutuhan publik seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan transportasi diposisikan sebagaimana fasilitas umum sehingga semua itu disediakan oleh negara secara gratis.
Dengan begitu, tingkat kelayakan gaji guru tidak lantas digunakan untuk membiayai kebutuhan pokok mereka yang sifatnya publik/komunal. Gaji guru semata digunakan untuk nafkah kepada keluarga yang ditanggungnya. Dengan kata lain, gaji guru tidak akan habis untuk kebutuhan-kebutuhan pokok yang semestinya menjadi tanggung jawab negara kepada rakyatnya.
Adapun pada masa Khalifah Al-Watsiq, ia pernah memberi gaji seorang ulama yang bernama Al-Jari awalnya 100 dinar/bulan, lalu menaikannya menjadi 500 dinar/bulan. Sedangkan pada masa kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid, pernah diberlakukan aturan untuk kitab-kitab karya para ulama bahwa sebagai bayaran kepada mereka adalah dengan menimbang berat kitab itu dengan emas.
Maka inilah gambaran kesejahteraan guru pada masa peradaban Islam. Para guru dan ulama benar-benar dimuliakan dan dihargai jasa-jasanya, bahkan diposisikan sebagai pahlawan dengan tanda jasa seutuhnya. Dan semua ini bisa dirasakan hanya dengan menerapkan sistem islam secara keseluruhan dalam naungan negara Khilafah. Wallahualam bissawab.
Islam sangat memperhatikan guru karena guru memiliki peran yang sangat penting dan strategis mencetak generasi yang berkualitas dan akan membangun bangsa dan menjaga peradaban. Allah telah melebihkan kedudukan orang-orang yang berilmu, tentu juga para pemberi ilmu
Penguasa dalam Islam adalah raa’in, yang memiliki tanggung jawab mengurus rakyatnya, dan seharusnye memiliki kepribadian Islam, khususnya kepribadian sebagai penguasa, akhliyah hukam (penguasa) dan nafsiyah hakim (pemutus perkara).
Hanifah Rasyida, merupakan salah satu alumni fakultas Ilmu Sosial Universitas Gorontalo yang aktif terhadap isu-sosial yang terjadi di tengah masyarakat Gorontalo.