Mengenal Dayango, Ritual Tua  yang Hampir Punah, Benarkah Agama Asli Suku Gorontalo?

Penulis  : Arman Mohamad
Arman Mohamad adalah seorang pegiat budaya lokal yang tinggal di Pohuwato-Gorontalo.

Dayango merupakan kepercayaan tertua di Gorontalo, bahkan inilah agama asli suku Gorontalo sebelum menerima Islam yang datang pada awal abad ke XVI.

Kehidupan  masyararakat Gorontalo yang berciri agraris sangat lekat dan bergantung pada alam. Ritual ini sebagai ciri khas penganut faham animisme episentrum. Kepercayaan animisme suku Gorontalo terletak pada dua titik puncak Gunung yakni, Gunung Tilongkabila dan gunung Boliyohuto.

Masing – masing gunung ini mengalirkan sungai besar dan anak-anak sungai yang bermuara ke teluk Gorontalo/tomini.

Jika kita telusuri lebih jauh, ritual bercirikan animisme di Sulawesi cukup banyak, sebanyak ragam suku yang mendiaminya seperti, Mamatung Himukudu Emme di Sangihe Talaud, ritual Balia suku Kaili, Kepercayaan terhadap Opo di Minahasa seperti Opo Walian Wangko dan lain-lain.

Kepercayaan Animisme-Dinamisme ini hampir meliputi semua suku-suku di Indonesia bahkan dunia dengan beragam bentuk dan jenisnya. Di Eropa kita menemukan praktek  memuja leluhur dan roh melalui fesitival leluhur seperti di Irlandia, Skotlandia dan Wales.

Animisme runtuh atau mengalami kemunduran setelah kedatangan Agama yang masif memerangi praktik syirik. Namun pada agama tertentu, pemujaan terhadap penguasa alam yang mendiami gunung, sungai, pohon besar, gua, samudra, masih tetap ada hingga kini.

Dayango salah satu tradisi ritual tertua yg masih bertahan meskipun masyarakat Gorontalo telah menerima agama Islam sebagai satu-satunya agama yang dipercayai dengan memegang teguh palsafah  “Adat bersendi syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah (Alquran)” sebagaimana palsafah ini umumnya di pegang oleh etnis melayu Islam di Nusantara.

Mengapa Dayango masih tetap bertahan hingga kini? Sebuah pertanyaan yang menggelitik ditengah modernisme dan banyaknya pilihan agama dewasa ini.

Ritual Dayango ternyata masih kita temukan pada masyarakat tradisional agraris di pedesaan. Penyebabnya ada beberapa faktor ; selain warisan genealogis, juga karena agama bagi sebagian masyarakat awam terlalu rumit dengan mempejari sejumlah teks suci dan seperangkat aturan(syariat/liturgi) yang membutuhkan nalar dan juga kemampuan tertentu untuk memahaminya.

Meskipun para penganut kepercayaan Dayango ini beragama Islam tetapi pengetahuan mereka tentang Islam sangatlah dangkal.

Agama cenderung  berbicara tentang sesuatu yang abstrak (iman). Sementara Dayango, dengan beragam perangkatnya yang bersifat supranatural, memberikan kesan nyata dan pengalaman spritual yang mendalam kepada pelakonnya (wombua), yang umumnya para tetua adat.

Selain itu, bahasa sebagai media penyampai pesan adalah bahasa ibu (Gorontalo asli), yang memungkinkan semua permintaan disampaikan mengalir deras dari fikiran dan hati serta raga(ilopasia) dari para wombua melalui syair-syair(wumbungo).

Jika dibanding dengan teks agama, cenderung memiliki kaidah/syariah/liturgi/prosesi yang baku yang kadang tidak dimampui oleh nalar masyarakat awam, yang hidup di pedalaman.

Disisi lain, ada juga pengalaman kehidupan bersama alam yang dirasakan, di mana bila pada waktu tertentu, alam mengirimkan peringatan berupa penyakit, baik bagi manusia, hewan dan tumbuhan, karena disebabkan ulah manusia yang banyak berbuat kesalahan atau bahkan melupakan alam, maka di situlah saatnya meminta pertolongan kepada penguasa yg mendiami gunung, sungai dan samudra dengan upacara dayango serta memberikan sesajen (mopoa,mohilihu).

Jika kita ajukan pertanyaan kepada Wombua (pemimpin dayango) ; kepada siapa permohonan itu ditujukan? jawabannya kepada yg maha kuasa  ( Eya ta jao’ontho). Berharap Eya/Tuhan bisa memerintahkan penghuni gunung, pohon, sungai,l autan (lati,jin,pulohuta) untuk melindungi manusia dan alam, untuk menghilangkan wabah ,mendatangkan hujan dan melimpahkan rezeki terhadap semua usaha terutama  pertanian.

Untuk mengetahui permintaan itu (ritual dayango) telah diterima, ada tanda yang dikirim melalui pesan- pesan alam (feedback) berupa kilat dan guntur menggelagar,  alam seketika menjadi gelap tanda hujan akan segera turun, atau bunyi-bunyian atau suara alam berupa suara burung hantu (maluo moluwola) ditengah malam, dan atau pekik burung elang ( bulia,watawatanga) saat matahari tenggelam.

Jika dirasa penguasa alam telah menerima permohonan manusia (malotolimoa), maka saatnya menyampaikan terimakasih dengan cara mempersembahkan aneka makanan (mopopo’a), yang biasanya setelah dibacakan doa/ mantra lalu makanan itu di hanyutkan disungai dengan perahu (mohilihu). Aneka makanan  itu konon jika kita cicipi tidak ada  rasanya lagi ( hambar) karena telah dimakan oleh mahluk halus( lati).

Terlepas dari kontroversi keberadaan Dayango ini sebagai perbuatan syirik dalam pandangan monoteisme, namun tradisi ini adalah warisan nenek moyang yang lebih tua dari kedatangan agama  di nusantara, yang  kini keberadaanya mulai punah seiring dengan usia senja para wombuwa dan podayango.

Dayango bukan agama sehingga pelakunya tetap bergama(Islam). Dayango adalah potret dan memori masa lampau kita orang Gorontalo. Dayango adalah warisan budaya tak benda (WBTb) Indonesia.