WARTANESIA – Badan Gizi Nasional (BGN) tengah mempertimbangkan untuk memasukkan serangga sebagai salah satu menu dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang saat ini diterapkan di berbagai daerah.
Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyatakan bahwa serangga memiliki kandungan gizi yang tinggi, terutama protein, dan beberapa daerah di Indonesia sudah terbiasa mengonsumsinya.
“Mungkin saja ada suatu daerah yang suka makan serangga seperti belalang atau ulat sagu. Ini bisa jadi sumber protein alternatif,” ujar Dadan pada Sabtu (25/1/2025).
Menurut Dadan, serangga dapat menjadi bagian dari menu lokal yang disesuaikan dengan potensi sumber daya setempat. Misalnya, daerah dengan sumber protein melimpah seperti telur atau ikan dapat menggunakan bahan tersebut, sementara daerah tertentu yang terbiasa dengan konsumsi serangga bisa menjadikannya sebagai bagian dari menu MBG.
Selain protein, Dadan juga menyoroti pentingnya variasi sumber karbohidrat dalam program ini.
“Jika masyarakat lokal terbiasa makan jagung atau singkong sebagai sumber karbohidrat, maka nasi dalam menu MBG bisa diganti,” jelasnya.
Serangga Memiliki Sumber Protein Tinggi
Dokter Spesialis Gizi, dr. Johanes Casay Chandrawinata, MND, SpGK, mendukung wacana ini dari segi gizi. Ia menjelaskan bahwa serangga memiliki kandungan protein dan lemak yang tinggi.
“Contohnya, jangkrik mentah per 100 gram mengandung 460 kalori, 18,5 gram lemak, dan 69 gram protein. Sedangkan belalang mentah per 100 gram mengandung 560 kalori, 38 gram lemak, dan 48 gram protein,” paparnya.
Johanes juga mengungkap bahwa sekitar dua miliar orang di dunia mengonsumsi serangga secara rutin, dengan sekitar 2.000 spesies yang dapat dimakan. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa kandungan gizi serangga bervariasi tergantung pada jenisnya.
Tantangan Implementasi
Meski potensial dari sisi gizi, Johanes mengingatkan bahwa kebijakan ini perlu dipertimbangkan dengan matang. Mayoritas masyarakat Indonesia belum terbiasa menganggap serangga sebagai makanan.
“Kebanyakan orang tidak menganggap serangga sebagai makanan. Ini menjadi tantangan besar apakah kebijakan makan serangga dapat diterapkan atau tidak,” ujarnya.
Ia menambahkan, keberhasilan program ini kemungkinan besar hanya terjadi di daerah yang masyarakatnya sudah terbiasa mengonsumsi serangga. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan risiko alergi, terutama pada anak-anak.
“Bila seorang anak alergi udang, kemungkinan besar ia juga akan alergi terhadap serangga,” jelasnya. (Wn)