WARTANESIA – Pendidikan gratis yang digembar-gemborkan oleh pemerintah masih menyisakan tanda tanya besar bagi masyarakat. Para orang tua, masih merasakan beban finansial saat menyekolahkan anak-anak mereka. Dari biaya formulir pendaftaran hingga pembelian seragam. janji pendidikan gratis belum sepenuhnya terwujud.
Di tahun ajaran baru misalnya, siswa diwajibkan untuk mengisi formulir pendaftaran sebagai syarat untuk masuk sekolah. Ironisnya, orang tua harus merogoh kocek untuk mendapatkan formulir tersebut. Biaya pendaftaran ini bervariasi, mulai dari Rp 25 ribu hingga angka yang lebih tinggi, tergantung pada kebijakan masing-masing sekolah.
Setelah diterima, tanggung jawab finansial orang tua tidak berhenti sampai di situ. Mereka juga diharuskan membeli seragam dari sekolah, termasuk baju olahraga yang ditentukan oleh pihak sekolah. Beberapa orang tua mengeluhkan situasi ini.
“Kalau orang tua seperti saya yang mata pencahariannya serabutan, mau tidak mau harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak. Awal masuk saja sudah harus bayar formulir, lalu beli baju sekolah dari sekolah, tidak bisa beli di luar, dan ada juga uang gedung,” ungkap salah satu orang tua siswa, yang anaknya kini duduk di bangku Sekolah Dasar dan SMP. Hal ini mencerminkan kesulitan yang dihadapi banyak keluarga dalam memenuhi biaya pendidikan.
Menyikapi keluhan ini, Plt Kepala Dinas Pendidikan Pohuwato, Arman Mohammad, menjelaskan bahwa biaya yang dikenakan di sekolah merupakan keputusan dari komite sekolah.
“Jika benar hal itu terjadi, kita akan investigasi. Di sekolah itu ada dana BOS, dan kita perlu memastikan apakah baju sekolah termasuk dalam kategori gratis atau tidak,” ujarnya.
Arman menegaskan bahwa meskipun ada dana BOS dari pemerintah, partisipasi orang tua tetap diperlukan.
“Istilah gratis tidak berarti semua biaya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Ada biaya-biaya tertentu yang tetap menjadi tanggung jawab orang tua,” lanjutnya.
Dia juga menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana sekolah. “Jika ada pengeluaran yang dibiayai sekolah, sebaiknya bermitra dengan komite yang terdiri dari para orang tua. Orang tua seharusnya terlibat dalam pengambilan keputusan, bukan hanya sebagai pihak yang menerima beban biaya,” jelas Arman.
Namun, dia mengingatkan bahwa dana BOS tidak selalu merata. “Jika jumlah siswa sedikit, dana BOS yang tersedia juga sedikit. Hal ini berimplikasi pada kemampuan sekolah dalam membiayai berbagai kebutuhan,” jelasnya.
Arman menambahkan, jika pengeluaran dilakukan oleh guru atau kepala sekolah tanpa sepengetahuan komite, itu adalah tindakan yang tidak dibenarkan. “Kami berharap tidak ada praktik-praktik yang mencurigakan di balik biaya-biaya ini, apalagi jika ada unsur bisnis,” tegasnya. (Lan)