Site icon WARTANESIA

Proyek Bioenergi Pohuwato, Investasi ‘Konyol’ Menuju Kepunahan dan Bukti Lemahnya Pengawasan Daerah?

Oleh : Najid Lasale (Jurnalis/Pengurus AJP)

Gorontalo, sebuah daerah di Pulau Sulawesi ini menjadi daerah pengekspor wood pellet terbesar di Indonesia. Wood pellet adalah bahan bakar alternatif yang terbuat dari serbuk kayu yang dipadatkan.

Ada dua negara besar yang menjadi tujuan ekspor wood pellet dari Gorontalo. Jepang dan Korea Selatan. Dua negara ini menggunakan wood pellet untuk pembangkit listrik, menggantikan batu bara.

Namun di tengah aktivitas yang menguntungkan perusahaan tersebut, juga terdapat ancaman yang mengancam bagi kehidupan masyarakat di Gorontalo. Di mana, aktivitas tersebut membuat kerusakan hutan alam Gorontalo terus tergerus.

Dikutip dari Forest Watch Indonesia (FWI) menyebut hutan alam yang tersisa di Gorontalo hanya sekitar 693.795 Ha atau sekitar 57 persen dari luas daratan. Sementara itu nilai deforestasi yang terjadi masih menunjukan angka yang tinggi 35.770,36 Ha (2017-2023).

FWI melihat ada ancaman baru muncul terhadap eksistensi sumber daya alam di Gorontalo. Izin-izin bertransformasi dan berkamuflase di balik transisi energi dengan mengusahakan bahan baku kayu untuk energi (bioenergi). Gorontalo masuk dalam salah satu skema cengkraman proyek bioenergi nasional. Merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia dengan luas 282.100 Ha dengan jumlah izin terbanyak, yakni 10 izin.

FWI mencatat, proyek bioenergi di Gorontalo berasal dari 3 sumber lahan, pertama yang berasal dari perkebunan kelapa sawit yang mendapatkan amnesti dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kedua yang berasal dari transformasi usaha hutan tanaman industri, dan ketiga berasal dari areal lahan Ex Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Di Kabupaten Pohuwato, terdapat 2 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang kemudian mengusahakan wood pellet, yakni PT Inti Global Laksana (IGL) beroperasi melalui SK.3102/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/5/2020 dengan luas 11.860 Ha dan PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) melalui SK.3103/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/5/2020 dengan luas 15.493 Ha. Izin berupa Pemanfaatan Hutan Hak dari KLHK di Kabupaten Pohuwato.

Dampak Investasi Bioenergi Pohuwato

Layaknya sebuah investasi, kehadiran investor di daerah diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah tempat dia berinvestasi. Pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja merupakan dua hal mendasar yang diinginkan dari hadirnya investasi- investasi tersebut

Proyek bioenergi di Pohuwato ini, adalah sebuah investasi, bukan investasi ecek – ecek. Begitu kata Sekretaris Daerah Pohuwato Iskandar Datau, belum lama ini. Nilai investasinya triliunan.

Jika memang demikian, maka paling tidak, Pemerintah Daerah Pohuwato dapat membuka kepada publik data – data dampak dari hadirnya investasi tersebut. Atau, mungkin, lewat penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, bahwa memang hadirnya investasi bioenergi di Pohuwato itu memberikan dampak yang signifikan bagi daerah. Baik dampak pertumbuhan ekonominya, maupun data penyerapan tenaga kerja yang diserap dari proyek ini. Sederhananya, Pemerintah Daerah harus menjawab, keuntungan apa yang didapatkan daerah dari hadirnya investasi – investasi bioenergi ini ?

Pun kalau memang, investasi bioenergi tersebut memberikan dampak terhadap daerah, bukan berarti daerah harus menormalisasikan atau memaklumi dampak – dampak yang ditimbulkan, utamanya dampak deforestasi. Di mana, hasil investigasi tim Forest Watch Indonesia (FWI) bersama dengan jaringan organisasi masyarakat sipil di Gorontalo, yakni Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda), dan jejaring simpul Walhi Gorontalo, PT. BTL memanfaatkan kayu berasal dari hutan alam, bukan berasal dari  kayu hutan tanaman atau bukan berasal dari kegiatan rehabilitasi.  Berdasarkan analisis tim FWI, deforestasi hutan alam yang terjadi di dalam konsesi PT. IGL dan PT. BTL sepanjang tahun 2021 sampai 2023 sebesar 1087,25 Ha.

Pemerintah Daerah, baik Pemerintan Kabupaten Pohuwato dan Pemerintah Provinsi Gorontalo tidak boleh hanya diam atas persoalan yang terjadi. Biar bagaimanapun, masuknya investasi bioenergi di Pohuwato turut melibatkan campur tangan Pemerintah Daerah dalam hal rekomendasi dan segala tetek – bengeknya. Ini benar-benar konyol.

Proyek Bioenergi, Investasi Menuju Kepunahan

Setuju ataupun tidak, kita bisa menyimpulkan bahwa proyek bioenergi adalah sebuah investasi menuju kepunahan. Proyek ini adalah proyek kapitalisme yang nyata di Pohuwato. Kita tahu, bahwa kapitalisme melihat alam sebagai komoditas yang harus dieksploitasi untuk menghasilkan keuntungan.

Ashley Dawson, dalam bukunya ” Kapitalisme dan Kepunahan” memberikan pandangan kritis terhadap praktek kapitalisme dalam mengeksplotasi alam. Kata Dawson, kapitalisme cenderung fokus terhadap pertumbuhan ekonomi tanpa batas. Dampaknya, aktivitas eksploitasi alam ini berkontribusi terhadap hilangnya keanekaragaman hayati dan peningkatan Kepunahan spesies di hutan. Persis seperti yang terjadi di Popayato,Pohuwato. Akibat pembukaan lahan perkebunan tanaman energi, satwa – satwa yang hidup di dalamnya jadi kehilangan tempat tinggal.

Praktek kapitalisme dalam mengeksplotasi alam Pohuwato, Gorontalo benar – benar nyata. Wood pellet, produk dari proyek bioenergi ini bukanlah produk yang dibutuhkan masyarakat di Gorontalo. Dan memang benar, kapitalisme tidak menghasilkan barang yang dibutuhkan rakyat. Tetapi, menghasilkan barang yang mendatangkan keuntungan baginya. Dorongan lainnya dari praktek ini adalah karena adanya persaingan.

Mengambil Langkah Tegas

Seperti telah disampaikan di atas, Pemerintah Kabupaten Pohuwato dan Pemerintah Provinsi Gorontalo tidak boleh hanya mendiamkan masalah ini. Harus ada langkah tegas yang dilakukan. Pun kalau, pemerintah daerah merasa tidak berdaya untuk menghadapi perusahaan kapitalisme ini, karena melibatkan orang – orang di pusat, maka Pemerintah Daerah juga baiknya melibatkan perwakilan- perwakilan Gorontalo yang kini berada di pusat.

Beberapa waktu lalu, senator asal Gorontalo yang baru dilantik, Syarif Mbuinga memberikan perhatian pada dugaan tindakan ilegal yang dilakukan perusahaan yang berinvestasi di Pohuwato itu. Sebagai anggota Komite 1, Syarif meminta APH untuk mengambil tindakan tegas atas kejadian pada Jumat 16 Agustus 2024. Di mana patroli Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI, Kapal Negara Gajah Laut-404 yang dikomandani oleh Letkol Bakamla Agus Tri Haryanto berhasil mengamankan kapal MV Lakas yang dicurigai membawa barang ilegal di perairan Gorontalo.

Kapal berbendera Filipina dengan 17 anak buah kapal (ABK). Dalam pemeriksaan berdasarkan keterangan tertulis yang diterima (melalui berita Detik.com), Jumat (16/8/2024) ditemukan bahwa kapal tersebut tidak memiliki beberapa dokumen penting seperti Certificate of Analysis, Certificate of Origin, serta Certificate of Shipper Declaration yang diperlukan untuk pengangkutan barang berbahaya berdasarkan International Maritime Solid Bulk Cargoes (IMSBC). Selain itu, kapal tersebut juga diketahui membawa 10.545 metrik ton wood pellet yang diduga ilegal.

“Peristiwa ini tidak boleh dibiarkan. Harus diseriusi oleh semua pihak. Baik pemerintah, hingga aparat penegak hukum. Karena kalau ini masuk ke ranah hukum, harus ada kepastian hukumnya,” ungkap Syarif Mbuinga, dikutip dari Wartanesia.id.

Mirisnya pernyataan Syarif itu malah dibantah oleh Sekretaris Daerah Pohuwato Iskandar Datau. Iskandar seperti sedang membela perusahaan yang berinvestasi di Pohuwato itu.

“Itu kan sudah ada klarifikasinya bahwa dari Bakamla itu hanya menduga. Diduga dokumen pengapalannya tidak lengkap. Ternyata setelah dibawa, dokumennya lengkap,” ungkap Sekda, dikutip dari Hulondalo.id

Bukan itu sikap yang harus dilakukan Pemerintah Daerah. Sekda Pohuwato sebagai representasi dari Pemerintah Daerah harusnya memberikan dukungan terhadap langkah yang akan ditempuh Syarif. Pemerintah Daerah juga baiknya melaporkan apa sebetulnya yang terjadi dalam proyek bioenergi ini kepada perwakilan Gorontalo yang berada di pusat.

Pemerintah Daerah yang punya wilayah, harusnya tahu apa yang terjadi di wilayahnya. Termasuk ihwal deforestasi ini, harus dilaporkan. Pemerintah Daerah tidak boleh berkong -kalikong dengan perusahaan- perusahaan ini. Meskipun kita sadari bahwa, awal dari rusaknya alam adalah karena adanya kong – kalikong antara penguasa dan pengusaha.

Begitu pun DPRD Pohuwato dan DPRD Provinsi Gorontalo.Harus ada sebuah sikap yang dilakukan. Jika DPRD merasa perusahaan ini memiliki backingan yang kuat di pusat, maka serahkan masalah ini ke perwakilan Gorontalo yang berada di pusat. DPRD harus mengambil Langkah politis, melaporkan, merekomendasikan atau apapun itu upaya – upaya yang bisa dilakukan. Karena mendiamkan masalah ini, berarti Wakil rakyat turut mengaminkan proyek menuju kepunahan.

Exit mobile version