Site icon WARTANESIA

Terima Kasih Pj. Gubernur Gorontalo

Oleh : Arman Mohamad (Pemerhati Budaya Provinsi Gorontalo)

Saat ini “kemungkinan” besar terjadi pergantian Pj. Gubernur Gorontalo karena telah selesai melaksanakan tugas selama setahun dan bisa diperpanjang lagi jika lolos dalam seleksi dan kriteria yang ditetapkan oleh Kemendagri.

Khusus untuk Pj. Gubernur Gorontalo saat ini memasuki penghujung setahun masa tugas banyak mendapatkan sorotan dan kritik dari beberapa kalangan.Namun sorotan itu ada yg masih pada batas wajar dan adapula yg sudah berlebihan.Yang berlebihan umumnya ungkapan penolakan yang disertai ulasan kekurangan selama menjabat.

Jujur saja masa waktu setahun terlalu dini mengukur seseorang berhasil atau tidak dalam melaksanakan tugas menjadi kepala pemerintahan dalam sebuah provinsi kecil dengan APBD terendah secara Nasional (dibawah 2 Triliun), dengan sejumlah permasalahan dan tantangan yang dihadapi.

Namun bagi saya hal itu bukan menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini. Yang menjadi perhatian kita adalah bagaimana warga Gorontalo memaknai falsafah adat Gorontalo sebagai negeri serambi Madinah.

Jika slogan ini kita maknai ada norma agama dan norma adat istiadat yang membingkai tata Krama kita maka seharusnya kita lebih mendahulukan ucapan terima kasih daripada mengkritik kepada setiap orang yang pernah meneteskan keringatnya walau hanya sedetik memikirkan pembangunan daerah ini.Soal berhasil atau tidak itu adalah soal kemampuan seseorang berbeda-beda.
Dari prespektif adat istiadat ada pesan leluhur “Huidu lohuntu Datahu”.. Gunung menjunjung daratan. Jika Gunung itu adalah lambang seorang pemimpin maka Daratan itu adalah rakyat (grass root).

Artinya Pemimpin berkewajiban menghambakan(mewakafkan) dirinya mengabdi untuk kepentingan masyarakat.Jangan semena-mena, jangan mendzalimi hak-hak rakyat.Namun disisi lain para leluhur kita juga menasihatkan ungkapan “Datahu Lohuntu Huidu”.. Daratan menjunjung tinggi Gunung.. artinya Rakyat wajib menghormati dan memuliakan pemimpin.

Betapa luhurnya keseimbangan hubungan (relationship) antara pemimpin dan rakyat dalam tatanan benegara dalam Adat istiadat Gorontalo. Dalam budaya Gorontalo mengkritik secara terbuka tidak lazim. biasanya kritik dibalut dalam kata-kata syair (tujai). penyampaian kritik dalam bentuk tujai adalah menjaga martabat seorang pemimpin dan menjaga keharmonisan hubungan antara pemimpin dengan rakyat.

Sebab jika salah satu diantaranya tersinggung maka bisa menimbulkan dendam kesumat yang bisa berakhir dengan pertumpahan darah.ini sesuai dengan nasihat leluhur Gorontalo”Openu de Moputi tulalo bodila Moputi baya”.. Lebih baik mati dibunuh dari pada dipermalukan di depan umum “.

Mengkritik tidak dilarang tapi sebaiknya disampaikan langsung dalam bentuk silaturahmi atau dipilih diksi yang tepat, agar kritik itu bertujuan menjadi sebuah nasihat perbaikan dalam bertugas selanjutnya.

Apalagi sebagai pemimpin di Gorontalo mulai dari level Camat, Bupati, Gubernur baik yang definitif maupun penjabat, sebelum memangku jabatan diawali dengan penobatan (moloopu) melalui upacara kebesaran adat Duluwo Limo Lo Pohalaa. Bila mengakhiri tugas pengabdian akan diantar secara adat(mopotolungo, Modepito).
Semua prosesi ini adalah lambang penghormatan kepada pemimpin oleh rakyatnya.

Generasi muda Gorontalo yang telah sukses meraih sederet gelar akademis harusnya mengkaji nilai-nilai luhur budayanya agar kita tidak kehilangan identitas sebagai masyarakat berbudaya, beragama yang mendiami bumi serambi Madinah.

Terimakasih Pak Pj. Gubernur DR. Hamka Hendra Noer, MSi. Namamu terukir dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Gorontalo sepanjang masa.

Paguat, 7 Mei 2023.

Exit mobile version