Site icon WARTANESIA

Bahasa Indonesia Jurnalistik bukan Bahasa Media Sosial

Oleh : Mohammad Nasir (Kelompok Kerja Komisi  Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Pers di Dewan Pers, Penguji Kompetensi Wartawan, dan berpengalaman sebagai Wartawan Harian Kompas (1989- 2018)

Sebagai jurnalis atau wartawan harus bisa membedakan antara bahasa Indonesia jurnalistik dan bahasa yang biasa digunakan dalam media sosial.

Bahasa Indonesia yang digunakan untuk jurnalistik bersifat formal, harus memenuhi kaidah tata bahasa yang benar, dan memenuhi aturan yang berlaku dalam jurnalistik, terutama dalam penulisan berita langsung (straight news).

Sementara bahasa Indonesia yang biasa digunakan untuk media sosial ditulis asal-asalan, yang penting bisa dimengerti. Salah ketik huruf dan menggunakan singkatan-singkatan tidak ada masalah dalam media sosial, seperti WhatsApp, Twitter dan lain sebagainya.

Tetapi dalam menulis berita dengan pendekatan jurnalistik untuk media pers, jangan coba-coba menulis seperti di media sosial. Kebiasaan menulis asal-asalan di media sosial jangan dibawa ke media pers.

Urusan titik koma harus benar, menulis kata dengan huruf dan ejaan yang benar. Jangan ada singkatan seperti “yg” untuk “yang”, “dg” untuk “dengan”, dan “thn” untuk “tahun”.

Yang dilarang bukan hanya menyingkat kata, tetapi juga singkatan atau akronim yang tanpa didahului kepanjangannya.

Dalam bahasa jurnalistik, boleh menggunakan akronim tetapi harus diberi kepanjangannya terlebih dulu pada penulisan singkatan di bagian paling atas. Selanjutnya cukup singkatan saja. Misalnya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Kenapa akronim harus ditulis kepanjangannya? Ini penting diketahui. Banyak orang yang tidak tahu kepanjangannya, apalagi kalau akronimnya sudah diganti.

Dulu akronim ABRI sangat terkenal, sekarang anak muda bertanya-tanya apa itu ABRI. Sekarang akronim yang terkenal TNI untuk Tentara Nasional Indonesia.

Kita tahu bahwa karya jurnalistik dapat dikatakan sebagai karya atau sumber sejarah yang ditulis ketika peristiwa terjadi.

Pembaca pada 50 tahun kedepan, generasi sudah berbeda akan kesulitan menebak akronim yang tanpa diberi kepanjangannya. Akhirnya tulisan itu kurang berguna untuk kepentingan sejarah.

Karena itu bahasa jurnalistik dikatakan bahasa formal, untuk berkomunikasi melalui media, baik untuk media platform cetak, online, radio, maupun televisi.

Dalam menguji kompetensi wartawan, saya sering mendapati kesalahan yang sangat elementer. Ada yang menulis huruf pertama pada kalimat menggunakan huruf kecil. Padahal kalimat itu diawali dengan huruf besar dan diakhiri dengan titik. Tanda baca juga harus diperhatikan.

Bahkan dalam menggunakan kata depan masih banyak yang bingung. Kata depan “di” banyak peserta uji yang tidak paham harus disambung dengan kata berikutnya atau dipisah.

“Di” kalau di belakangnya kata kerja harus gandeng, seperti kata “ditembak”, tidak boleh dipisah menjadi “di tembak”, dan “di manja”. Tetapi kalau di belakang “di” terdapat kata benda atau tempat, maka “di” dipisah, menjadi seperti “di rumah”, “di Jakarta”.

Selain itu dalam menggunakan Bahasa Indonesia Jurnalistik, harus memperhatikan kaidah susunan kalimat yang bener.

Seperti unsur inti kelimat dalam rumusan kalimat aktif Subyek + Predikat+ Obyek harus tetap diperhatikan. Subyek, berupa nama orang atau kata ganti orang, atau kata benda (siapa atau apa), predikat (kata kerja atau kata sifat), dan obyek (keterangan pelengkap predikat). Contohnya, Peretas Bjorka (subyek) memasarkan (predikat) 1,3 miliar data (obyek).

Unsur inti kalimat aktif juga bisa diperluas menjadi subyek + keterangan subyek, predikat + keterangan predikat, dan obyek + keterangan obyek. Contohnya, Seorang perempuan (subyek) berbaju putih dan berkacamata (keterangan subyek) berjalan (predikat) pelan-pelan (keterangan predikat) ke panggung hiburan (obyek) yang dihiasi lampu warna-warni (keterangan obyek).

Kalimat aktif ini ada varian terbalik, tetapi jarang digunakan. Rumusnya, predikat +subyek+ obyek. Contohnya, Pergi dia ke pasar seni atau Akhirnya, pergilah dia ke pasar seni. Pergi (predikat)+ dia (subyek), ke pasar seni (obyek).

Beda dengan kalimat pasif yang mengedepankan obyek +predikat+ subyek. Misalnya, Jenazah Ratu Inggris Elizabeth II (obyek) disambut (predikat) puluhan ribu warga (subyek), di tepi jalan (keterangan subyek).

Ciri Bahasa Jurnalistik

Menurut Dr Sri Mustika, Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), dalam buku terbitan LPDS berjudul “Saya Wartawan Kompeten, Petunjuk Praktis UKW Berwawasan Kebaruan” (2021), Ada ciri-ciri bahasa jurnalistik yang selalu diperhatikan oleh wartawan profesional.

Ciri-ciri itu adalah sederhana, singkat, padat, jelas, lugas, logis, jernih, menarik, populis, gramatikal, menghindari kata tutur (tidak formal) terutama untuk format berita straight news, pemilihan kata yang tepat, dan mengutamakan kalimat aktif.

Di sini saya kutipkan beberapa ciri saja, antara lain bahasa yang sederhana maksudnya kata-kata yang dipilih mudah dimengerti oleh semua audiens yang heterogen.

Singkat, artinya tidak bertele-tele, langsung pada pokok masalah, terutama dalam menulis ragam berita straight news, piramida terbalik. Alinea paling atas berisi informasi paling penting. Ke bawah memuat informasi yang kurang penting.

Namun disarankan tetap padat (sarat dengan informasi), dan lugas (tegas, tidak ambigu, bermakna ganda), serta menarik (menimbulkan selera baca).

Bahasa jurnalistik berciri demokratis. Artinya tidak mengenal kata ganti orang  dengan sebutan beliau”, “ibu”, “bapak”. Tidak dibenarkan kalau ada penulisan seperti ini, “Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Bapak Asrul Sani mengatakan,…”. Kata “Bapak” dihilangkan. Kecuali kutipan langsung seperti ini, “Tadi Bapak Asrul Sani memberi penghargaan kepada saya,” kata seorang stafnya.

Lalu ciri populis, kata-kata yang dipilih wartawan harus sudah akrab di telinga audiens, karena bahasa jurnalistik itu merakyat, tidak untuk golongan tertentu. Wartawan harus menjelaskan istilah asing baru, dan sebisa mungkin di-Indonesia-kan.

Dan, yang tidak kalah penting adalah logis, tidak bertentangan dengan nalar, akal sehat.  Karena itu wartawan harus belajar logika bahasa supaya konstruksi dalam menulis berita tidak rapuh.

Bahasa Feature

Feature bisa dikatakan sebagai gaya menulis bebas, menggunakan gaya bahasa bertutur penulis sendiri dengan pilihan kata yang tetap pantas (santun) untuk berkomunikasi dengan audiens. Meskipun bebas, penulis tidak boleh menyelipkan hoax, informasi palsu.

Biarkan keindahan feature itu alami, jangan dipoles dengan kata-kata yang tidak mengandung kebenaran. Feature bukan karya fiksi meskipun penulisannya boleh menggunakan gaya fiksi seperti novel.  Feature adalah non-fiksi, berdasarkan fakta dan data.

Meskipun bertutur dengan bahasa sendiri, penulis feature tetap harus menjelaskan dari mana sumber informasi berasal. Sebutkan sumbernya kalau mengutip referensi, berita media, buku, atau catatan percakapan.

Teknik penulisan feature merupakan cara khusus untuk menulis ragam jurnalistik di luar berita langsung (straight news).

Ragam berita di luar straight news itu apa saja? Sebut saja tulisan mendalam (indepth report) yang mengungkapkan kedalaman persoalan, laporan investigasi (investigative reporting), berita ringan (soft news), dan profile tentang orang, ataupun lembaga.

Karena menulis feature adalah bagian dari jurnalistik, maka materi yang digunakan berasal dari berita yang diperoleh melalui kegiatan jurnalistik. Ramuannya adalah hasil wawancara, pengamatan lapangan, dan perpustakaan/referensi.

Unsur pertanyaan yang harus dijawab dalam feature sama dengan straight news, yaitu apa (what), kapan (when), siapa (who), dimana (where), mengapa (why), dan bagaimana (how). Rumusan pertanyaan yang terkenal dengan singkatan 5 W dan 1H.

Tetapi seringkali tidak berhenti pada pertanyaan-pertanyaan tersebut. Apa yang harus dilakukan ke depan (what’s next) juga seringkali dituliskan supaya pembaca mengikutinya.

Format feature tidak mengenal piramida terbalik. Terserah penulis mana yang dinilai menarik untuk dijadikan lead (paragraph pertama), mana untuk bagian body (isi, uraian), dan mana bagian penutup. Jadi susunannya: judul, lead, body, penutup.  

Lead yang ditulis setelah judul, merupakan paragrap pertama tulisan sangat menentukan apakan pembaca akan terus membaca sampai akhir atau cukup di lead saja. Karena itu, lead sebisa mungkin dibuat semenarik mungkin.

Cermati di antara 5W dan 1H, kalau di antaranya ada yang paling menarik dan penting tulislah untuk lead.

Biasanya feature mengambil why atau how untuk lead. Akan tetapi tidak selalu demikian, tergantung unsur mana yang paling extraordinary.

Kalau unsur where dinilai paling luar biasa menarik dan terkenal atau luar biasa (extraordinary), bisa diambil sebagai lead. Misalnya, bom bunuh diri yang terjadi di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan pada  Rabu, 31 Maret 2021.

Markas besar polisi sebagai unsur “tempat/where” sangat menarik untuk dijadikan lead, maupun judul. Dikatakan menarik karena yang kebobolan tersangka teroris ini markas polisi, bukan tempat kerumunan massa di jalan.

Jadi cerita ini dimulai dari mana saja tetap menarik, terutama dari unsur tempat kejadiannya.  Misalnya saja, “Perempuan itu sebelum terkapar akibat bom yang diledakkan sendiri di halaman Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, ia menembaki pos penjagaan yang dijaga polisi bersenjata. Ketika itu orang-orang yang berada di dekat kejadian berlarian menghindar”.  

Ringan dan Enak Dibaca

Menggunakan gaya bertutur  dalam feature diperlukan kepandaian bercerita, dan memformuluasikan kata-kata untuk menyampaikan esensi pesan berita, bukan hanya memindahkan kalimat-kalimat yang diucapkan sumber atau orang yang diwawancarai.  

Kalau dalam tulisan diperlukan kutipan langsung dari orang yang diwawancarai penulis, silakan saja kalau itu dirasakan mengihidupkan cerita. Silakan tempatkan  pada alur cerita yang tepat.

Dengan cara seperti itu, penulis seperti sedang bercerita langsung pada pembaca. Ceritanya akan mengalir, dramatic, enak dibaca, renyah, dan ringan.

Di kalangan wartawan feature dianalogikan makanan ringan, sebagai selingan.
Karena itu gunakan bahasa sederhana, kalimatnya tidak beranak-pinak.

Paragrapnya juga jangan panjang-panjang, cukup dua kalimat, terutama ketika tulisan untuk media online yang kemudian dibaca di layar sempit pada gadget atau smartphone.

Gunakan kata kerja aktif, dengan awalan “me” supaya tulisan terasa hidup. Ini kebalikan dengan yang digunakan dalam penulisan ilmiah yang banyak menggunakan kata kerja pasif (berawalan “di”).

Hindarkan penggunaan kata sifat kecuali kita menunjukkan fakta-faktanya secara memadai. Lebih baik mengganti kata sifat dengan kata kerja dan benda yang jelas.

Misalnya kata sifat “kaya”, diganti dengan kata “memiliki 10 rumah masing-masing seharga di atas Rp 5 miliar”, kata “cantik”, diganti dengan kata-kata yang sudah umum dipahami masyarakat, misalnya “hidung mancung, rambutnya berombak”, dan seterusnya. Ini untuk menghindari opini dari penulis.  

Sejumlah kata sifat yang perlu dihindari antara lain, baik, luar biasa, cantik, indah, ramah, mudah, sulit, kotor, segar, buruk, murah, mahal, besar, kecil.

“Ketika kamu menggunakan kata sifat, kamu akan berisiko menyelipkan opinimu ke dalam cerita,” kata Carole Rich dalam bukunya Writing and Reporting News, A Coaching Methode, Wadsworth Chengage Learning, 2010.

Wartawan tidak boleh menulis opininya sendiri. Wartawan hanya melaporkan kejadian, dengan keadaan apa adanya dengan sudut pandang yang menarik.

Gaya Narrative Writing

Penulis feature dituntut mempunyai kemampuan menarasikan suatu kejadian atau keadaan yang dilihatnya sendiri atau berdasarkan interview yang sangat detil.

Carole Rich dalam bukunya memberi contoh feature berseri tulisan Tom French dari St. Peterburg (Fla.) Times. French menulis feature berseri tentang kasus pembunuhan yang sudah diadili di pengadilan.

Feature berseri hingga 10 tulisan itu ternyata mendapat sambutan luar biasa dari pembaca dan terkenal dengan sebutan “A Cry in the Night”. Dia memberi pengantar feature-nya sebagai berikut:

Korban itu bukan orang kaya. Dia bukan anak perempuan dari seseorang yang sedang berkuasa. Ia hanya perempuan berusia 36 tahun yang berusaha menghidupi dirinya sendiri. Namanya Karen Gregory. Malam itu dia tewas terbunuh. Karen menjadi bagian dari angka statistic…Ini adalah apa yang dalam keseharian kadang-kadang dikatakan sebagai “pembunuhan kecil”  

French kemudian mengawali ceritanya dengan gaya naratif yang diambil dari keterangan sidang pengadilan dengan tersangka  George Lewis yang sehari-hari bekerja sebagai pemadam kebakaran. Ia tinggal di seberang jalan rumah Karen Gregory yang tewas terbunuh. French mengawali feature-nya sebagai berikut:

Pengacaranya memanggil namanya. Ia berdiri dan meletakkan tangannya di atas Bible dan bersumpah akan mengatakan yang benar.

Ia duduk di tempat para saksi dan menghadap ke arah anggota juri sehingga mereka bisa melihat wajahnya, serta mempelajari pria macam apa dia sesungguhnya sebagai bahan pertimbangan untuk membantu pengambilan keputusan.

“Apakah kamu memperkosa Karen Gregory?” tanya pengacaranya.
“Tidak Pak. Saya tidak melakukan itu,”
“Kamu membunuh Karen Gregory?”
“Tidak Pak”

Dia mendengar jeritan malam itu, kata dia. Ia mendengarnya, lalu keluar rumah menuju jalan, melihat sekeliling.

Ia melihat orang yang tidak dikenal berdiri di halaman rumah Karen. Orang itu mengatakan akan pergi, dan meminta jangan menceritakan pada orang lain apa yang dia lihat.

Ia menunggu orang itu pergi—mengawasi dia pergi jauh kedalam kegelapan—dan kemudian ia pergi ke rumah Karen.

Ada pecahan kaca di depannya. Ia mengetuk pintu depan. Tidak ada jawaban. Ia mendapati jendela dalam keadaan terbuka.

Ia berteriak apakah ada yang memerlukan bantuan! Masih juga tidak ada jawaban. Ia melihat dari jendela yang terbuka melihat orang tergolek di lantai.

Ia memutuskan untuk masuk, ia memanjat kedalam dan menemukan Karen. Darahnya sudah mengalir kemana-mana.

Ia takut. Ia lari ke kamar mandi dan muntah. Ia tahu tidak akan ada orang yang percaya bahwa dia bisa sampai masuk rumah yang ada mayat Karen. Ia harus keluar dari sana.

Dia lari ke depan menuju jendela dan memanjat keluar ketika ia melihat sesuatu bergerak dalam kegelapan.

Ia mengira ada seseorang melompat ke arah dia. Kemudian ia tersadar bahwa ia sedang melihat kaca, dan hanya dirinya lah yang ada dalam kaca itu. Itu ternyata hanya bayangannya sendiri yang mengejutkan dirinya. Dialah George.   – Tom French, St Petersburg (Fla.) Times.

Tulisan tersebut terasa seperti sebuah novel misteri, namun ini cerita semuanya benar, berdasarkan hasil wawancara kurang lebih 50 orang dan 6000 halaman dokumen pengadilan. Gaya penulisan itu disebut tulisan narasi (narrative writing).

Narrative writing, suatu tulisan bertutur yang dramatic, merekonstruksi kejadian, untuk mengajak pembaca seakan-akan menjadi saksi atau menyaksikan kejadian yang sedang dituturkan penulis.

Gaya Descriptive Writing

Penulisan dengan gaya diskripsi juga digunakan untuk menulis berita feature. Walaupun feature menggunakan diskripsi dan terasa seperti novel, bahan utamanya tetap serangkaian fakta (non-fiction), bukan fiction seperti novel.

Contoh ini diambil dari feature berseri karya Tom French yang meraih hadiah Pulitzer 1998. Cerita berjudul “Angels and Demons” mengungkapkan penemuan mayat perempuan dengan gaya diskripsi:

Perempuan, mengapung, wajahnya menghadap ke bawah. Kedua tangannya terikat ke belakang punggung dan kakinya terikat. Tali warna kuning mengikat lehernya. Ia telanjang dari pinggang ke bawah.

Seorang pria dari Amber Waves (perahu layar) telah memberi tahu Penjaga Pantai melalui alat komunikasi, dan perahu penyelamat sudah diberangkatkan, dari tempat pangkalannya di Pelabuhan Bayboro Harbor di St Petersburg.

Awak Penjaga Pantai segera mengambil mayat, tetapi sulit mengangkatnya dari air. Tali yang mengikat lehernya, terikat sesuatu yang berat di bawah permukaan, sehingga sulit diangkat.

Mencatat koordinat dimana mayat ditemukan. Awak Penjaga Pantai memotong jalur, memasukkan mayat ke dalam kantung jenazah, menaikkannya ke dalam perahu, dan menuju kembali ke pangkalan.. -– Tom French, St Petersburg (Fla.) Times.

Demikian lah gaya diskripsi yang menggambarkan suasana, keadaan, warna, bau,  rasa, cuaca, arah angin dan lainnya sehingga pembaca merasa diajak menyaksikan sendiri apa yang sedang kita tuturkan.

Gunakan diskripsi yang relevan dengan konten feature. Diskripsi juga jangan digunakan terlalu banyak, karena akan mengacaukan cerita.

Jika terlalu sedikit diskripsi, pembaca juga tidak punya bayangan untuk masuk ke dalam cerita. Diskripsi biasanya untuk menggambarkan lokasi dan orang.

Penulisan gaya diskripsi biasanya juga dikombinasikan dengan narasi, dialog-dialog, analogi-analogi, plot, dan rekonstruksi kejadian seperti yang telah terjadi.  

Tetapi perlu diingat, walaupun penulis diberi kebebasan dalam menulis feature, ada rambu-rambu yang harus diperhatikan, antara lain menjunjung tinggi nilai kesopanan dalam berbahasa, tidak mengumbar kata-kata yang mengandung kebencian,  tidak mengandung pornografi, dan tidak menyinggung suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Dan, tentu saja kita menggunakan bahasa yang baik dan benar.

Exit mobile version