Site icon WARTANESIA

Tambang dan Hak Hidup Masyarakat Lokal

WARTANESIA – Kabupaten Pohuwato atau yang di kenal dengan nama Bumi Panua ini memang baru berusia 20 Tahun, Namun Kabupaten di ujung barat provinsi Gorontalo di kenal dengan kekayaan alamnya dan kandungan isi perut Bumi berupa emas dan hasil tambang lainnya melimpah di daerah ini.

Pertambangan Pohuwato yang telah di kelola puluhan tahun bahkan menurut cerita beberapa orang penambang, bahwa tambang Pohuwato telah di temukan sejak Indonesia dikuasai  oleh para penjajah pada waktu itu.

Pengelolaan tambang pun, dari tahun ke Tahun telah mengalami peningkatan,dari Manual hingga menggunakan alat moderen, hal ini di sebabkan oleh emas yang tertutup material yang cukup dalam tak bisa di jangkau alat tradisonal.

Dari hasil tambang pun, Roda Perekonomian Pohuwato terus mengalami peningkatan, semua unsur masyarakat turut menikmati, seperti halnya para penjual ikan, sembako dan kebutuhan lainnya banyak di borong oleh para penambang, baik pemilik modal ataupun kabilasa.

Tak sampai disitu, dari hasil tambang para penambang mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke tingkat perguruan tinggi, memiliki kendaraan baik roda dua ataupun roda empat, memiliki rumah yang layak.

Keberadaan penambang lokal turut membantu pemerintah dari sisi pengurangan angka kemiskinan, hal ini disebabkan perputaran ekonomi dari hasil tambang cukup memberi pengaruh terhadap daya beli masyarakat.

Meskipun di anggap ilegal serta jadi buruan APH, para penambang ini tetap memilih beroperasi, karena sebagai manusia, ada hak hidup yang harus di jamin oleh negara dan sebagai warga Negara yang baik mereka tanpa Penertiban oleh APH, Mereka siap secara Suka Rela untuk tertib dengan catatan percepat Dokumen WPR dan bantu penambang mereka percepat pengurusan Ijin Pertambangan Rakyat.

Disebut Ilegal ditanah leluhur tentu akan jadi bumerang bagi mereka penambang Lokal yang telah bertahun-tahun mempertahankan hidup dari hasil tambang, kepada pemerintahlah harapan mereka, sebab tak ada Pemerintahan jika rakyat tak ada, pemerintah mengatur rakyat siap diatur.

Penertiban kepada mereka yang tertib, rupanya kurang pas, alasan kerusakan lingkungan terhadap mereka yang belum memiliki ijin, tentu juga kurang pas, karena menimbulkan pertanyaan, apakah cara kerja perusahaan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan???

Jangan sampai karena dilegalkan oleh negara lalu LSM dan para kritisi lainnya menutup mata, jangan sampai hanya penanganan pasca tambang yang telah di janjikan lalu pemerintah berada di pihak mereka, sungguh naif sikap pemerintah mengabaikan hak hidup rakyatnya demi CSR dan alasana kerusakan lingkungan.

Kepada pemerintah, ada ungkapan Kami Siap Tertib bukan di tertibkan, ini sinyal jika di bantu percepatan WPR dan IPR, inilah yang akan mengatur mereka secara suka rela.

20 tahun berpisah dari Kabupaten Boalemo, PR yang belum tuntus hingga kini adalah menghilangkan Label “Ilegal” terhadap orang lokal.

Menjelang Pileg dan Pilkada Tahun depan semoga saja lahir para wakil rakyat dan pemimpin daerah, yang tahu rasa seoarang ibu rumah tangga, yang suaminya rela berlumuran lumpur tambang untuk anak-anak mereka dan kebutuhan harian, bertaruh nyawa demi pendidikan anak-anaknya, mereka adalah bagian dari penopang Ekonomi, bukan Musuh yang disebut Ilegal. (rik)

Exit mobile version