Site icon WARTANESIA

Halima dan Perahu Bekas: Membongkar Selubung Ketidakadilan Terhadap Perempuan Nelayan

Oleh: Christopel Paino
Penikmat Kopi Pahit


Pagi sebelum matahari beranjak tinggi, Halima memulai aktifitas memasak dan menyiapkan air mendidih untuk diseduhnya menjadi teh. Tidak lama kemudian ia memanggil adik laki-lakinya agar membantu memindahkan orang tua perempuannya yang sakit parah. Setelah itu Halima membeli sebotol plastik pertalite, sebagai bahan bakar perahu menuju ke tempat mencari gurita. Sayangnya itu bukan perahunya sendiri, melainkan pada perahu yang ia tumpangi menuju lokasi tangkap gurita. Di belantara terumbu karang, Halima cekatan berenang dengan bermodalkan alat tangkap seujung kawat besi untuk mencari gurita.

Tapi hari itu nahas baginya. Di tengah lautan luas, Halima tampak kebingungan. Tak ada satu pun tangkapan gurita. Ketika pulang dengan tangan hampa, maka nasib sial lain sedang menunggu Halima; hutang. Ya, ia lebih memilih berhutang sebagai cara bertahan hidup demi membeli sekantong beras. Pantang baginya meminta bantuan kepada saudara-saudara.

Maka setelah pulang melaut tanpa ada hasil itu, ia melanjutkan dengan aktifitas domestik; memasak dan kembali merawat orang tuanya yang sakit-sakitan. Rutinitas ini ia lakoni sejak putus sekolah dasar puluhan tahun lalu. Syahdan, sebagaimana hari-hari yang telah lalu, Halima hanya meratapi nasib dengan sebuah syair yang biasa ia lagukan sambil termangu. Sendu dan kelabu.


Apa yang saya ceritakan di atas adalah adegan awal film dokumenter berjudul “Halima dan Perahu Bekas” yang disutradarai oleh Rivon Paino dan Findriani Mahmud dalam ajang Eagle Documentary Award 2022 yang ditayangkan secara perdana oleh Metro TV pada tanggal 28 November 2022. Film berdurasi 23 menit ini menceritakan kondisi dan perjuangan hidup seorang perempuan nelayan di pesisir Teluk Tomini pada sebuah desa yang mayoritas beretniskan Bajo di kampung terapung Torosiaje,-ujung barat Gorontalo. Halima adalah perempuan nelayan pencari gurita tanpa perahu yang mengandalkan tumpangan dan berenang di antara lubang-lubang terumbu karang.

Saya lebih memilih menuliskannya sebagai perempuan nelayan ketimbang nelayan perempuan. Apa bedanya? Saya akan jelaskan pada paragaraf-paragraf berikutnya ditulisan ini.

Sebagai pencari gurita di perairan dangkal, Halima mencoba menabung untuk membeli perahu dari hasil tangkapannya. Hanya saja ini bukanlah perahu baru dengan aroma catnya yang baru; tapi sebuah perahu bekas yang tampak usang di sudut haluan-buritan dan cat terkelupas sana-sini. Penggambaran inilah yang dijadikan sebagai judul oleh para sutradaranya, meskipun ternyata perahu bekasnya ini tidak banyak diceritakan dalam filmnya yang terbatas pada durasi 23 menit saja.

Selain bercerita tentang Halima dan perahu bekasnya yang dipakai mencari gurita, topik lain yang sedang ingin disuguhkan dalam film ini adalah penggunaan tools bernama Kobotolbox dan Tablaeau bersamaan dengan piranti elektronik yang sering disebut tablet,-dipakai oleh Indri Usman,-tokoh lainnya yang ditampilkan dalam film sebagai perempuan pengumpul data tangkapan gurita di Desa Torosiaje; tempat di mana Halima lahir dan dibesarkan oleh leluhurnya.

Dengan adanya aplikasi dari teknologi ini, Indri Usman dan pengumpul data lainnya akan mengumpulkan data-data,-tidak hanya berupa angka dan jumlah hasil tangkapan,-seperti bobot tangkapan berdasarkan grade atau jenis kelamin gurita dan panjang kepalanya, melainkan data tentang kondisi ekonomi dan kondisi sosial nelayan yang ada di desa. Hasil data ini lalu diolah, dianalisis, kemudian disampaikan kembali ke nelayan,-seperti yang digambarkan dalam film; melalui grafik dan tren tangkapan pada beberapa lembar kertas yang ditempel di dinding-dinding papan rumah orang suku bajo.

Hasil analisis inilah,-yang dibantu oleh organisasi non pemerintah bernama Japesda (Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam) dan bermitra dengan YPL (Yayasan Pesisir Lestari),-juga tidak hanya sekedar memberikan gambaran mengenai kondisi perairan dan jumlah tangkapan para nelayan yang cenderung menurun, seperti tangkapan Halima hari itu. Tapi juga membantu mereka untuk mengambil keputusan dalam mengelola wilayah tangkap; tempat dimana masyarakat menggantungkan hidupnya secara turun temurun. Dari sinilah pesan lainnya hendak disampaikan oleh Rivon dan Findriani, yaitu; konservasi.

Seperti wilayah laut lainnya di Indonesia, kondisi perairan di Torosiaje memang tidak sedang baik-baik saja. Itu dengan jelas digambarkan ketika Halima tampak kebingungan di antara luasnya lautan namun tidak berhasil menemukan satupun tentakel gurita untuk dibawanya pulang. Sungguh sebuah pemandangan yang ironis. Praktek perikanan destruktif seperti bom dan potasium adalah satu dari sekian banyak persoalan yang terjadi di Torosiaje dan perairan Teluk Tomini pada umumnya. Maka jalan konservasi adalah pilihan yang harus diambil dalam upaya pemulihan kondisi laut di Torosiaje, melalui pendampingan yang memanfaatkan perkakas teknologi bernama kobotolbox, tableau, dan tablet tadi.

Upaya konservasi yang sedang didorong berbasiskan data ini menjadi bagian dalam cerita Halima dan perahu bekasnya. Terutama ketika dikaitkan dengan realitas bahwa penurunan kualitas perairan laut telah memberikan dampak negatif pada hasil tangkapan nelayan, yang hanya melahirkan nestapa kepada perempuan nelayan seperti Halima.

Menyaksikan film dokumenter ini tiba-tiba memunculkan pertanyaan: apakah film ini hanya sekedar menggambarkan begitu saja kisah getir hidup perjuangan perempuan nelayan seperti Halima? Atau hanya sekedar mempertontonkan bahwa ia adalah korban dari rusaknya kualitas lingkungan, terutama perairan laut, akibat praktek destruktif?

Kuasa dan Kekerasan Berbasis Gender dalam Perikanan

Bagi saya film “Halima dan Perahu Bekas” lebih dari sekedar merayakan isu konservasi atau penggunaan piranti teknologi. Film ini seakan sedang membongkar,-atau setidaknya,-membawa kita untuk memahami bahwa sebenarnya ada praktek kekerasan dan ketidakadilan yang sedang silang sengkarut terjadi pada masyarakat pesisir kita: terutama pada perempuan yang sedang beraktifitas sebagai nelayan.

Sebelum membahas sub judul di atas, saya akan memulai dengan informasi bahwa 90 persen lebih atau 3,3 juta orang di Indonesia adalah nelayan skala kecil yang menangkap ikan di wilayah pesisir dan menopang ketahanan pangan nasional. Mendengar angka itu, sepintas mungkin kita akan berpikir bahwa Halima adalah satu di antara 3,3 juta orang itu yang bahkan hidup di bawah garis kemiskinan, dimana aktifitas tangkapnya berada di garis pantai mulai dari 0-5 mil jaraknya. Tapi saya sedikit ragu apakah benar Halima tercatat dalam data nelayan skala kecil?

Saya melihat memang isu kemiskinan sedang ditampilkan dalam film ini yang direpresentasikan oleh Halima. Tapi sebenarnya isu lain yang tampak terselubung yang harus dibongkar adalah kenyataan bahwa Halima mengalami kondisi tersebut (kemiskinan) karena ketidakadilan sekaligus kekerasan berbasis gender yang ia alami. Ketidakadilan itu bahkan berlapis; terjadi pada unit keluarga, komunitas, dan juga dilakukan oleh negara.

Bagaimana bentuk ketidakadilan dan kekerasannya? Saya akan coba uraikan satu persatu permasalahannya.

Pertama: sebagai kelompok pesisir marginal, Halima tidak hanya sekedar memikul beban ganda, namun berlipat ganda. Dalam unit keluarga, ia mendapatkan kekerasan dalam relasi suami-istri yang berakibat perceraian. Dalam film itu ia menyebut bahwa suaminya sering mabuk-mabukkan dan bukan tidak mungkin perangai suaminya membuat ia mendapatkan perlakuan yang tidak baik. Kondisi inilah yang membuat Halima kemudian menjalani peran sebagai kepala rumah tangga, tulang punggung keluarga; membuatnya banting tulang sebagai perempuan nelayan. Dari 24 jam sehari, setidaknya rata-rata perempuan yang berperan ganda ini bekerja selama 17 jam di ruang publik dan domestik secara bersamaan. Beban berlipat ganda inilah yang harus ia jalani setiap hari.

Meski demikian, saya kira juga tidak adil untuk menyebut bahwa mantan suaminya meski sebagai pelaku kekerasaan, sebenarnya ia juga adalah korban dari ketidakadilan. Saya tidak dalam rangka membela mantan suaminya. Tapi ini adalah problem yang kompleks di negara dunia ketiga atau negara berkembang (bahkan negara maju) yang dikendalikan oleh relasi kuasa global; para invisible hand, yang menyebabkan masyarakatnya depresi dan melampiaskan kekerasan di unit keluarga. Sehingga sebenarnya, relasi suami-istri yang berakhir dengan kekerasan seperti halnya Halima dan mantan suaminya; adalah pertarungan orang-orang kecil yang kalah, yang saling bertempur ingin keluar dari jebakan kemiskinan masyarakat kita.

Kedua: dalam komunitas, Halima mendapatkan perlakuan gender stereotype. Halima adalah perempuan nelayan berusia 47 tahun. Setelah menjalani relasi suami-istri yang buruk, Halima kemudian menjadi janda beranak satu. Saya beberapa kali bertemu dengannya ketika mengadakan diskusi kampung di Torosiaje. Dari tampilannya yang berambut pendek,-lebih mirip cepak,-dan jalannya yang tegap, sering kali membuat Halima disebut sebagai perempuan tomboi. Sematan ini sering melabelinya karena penampilannya yang mirip laki-laki. Pernah suatu ketika, dalam pertemuan di aula kampung, ketika posisi duduk melantai antara perempuan dan laki-laki terpisah, Halima tidak berada di kedua posisi tersebut. Ia seolah ditolak oleh dua kutub tadi; perempuan dan laki-laki. Ia hanya terdiam dan senyum-senyum saja.

Perawakannya itu seringkali mendapatkan bullying dan dikaitkan dengan identitas seksual lain yaitu Halima adalah seorang lesbi. Pelabelan ini adalah bagian dari gender stereotype yang tumbuh di masyarakat kita. Tapi saya tidak sedang mengutuk masyarakat kita akibat labeling ini. Sebab imaji tentang ekspresi dan identitas seksual seseorang tidak lahir begitu saja pada sebuah komunitas, tentu ada kekuatan lain yang beroperasi melalui wacana tentang imaji, fantasi, atau ekspresi seksual seseorang sehingga melahirkan labeling atau gender stereotype tersebut.

Karena saya yakin, gender stereotype memiliki akar masalah yang panjang dan akut, tidak hanya sekedar bicara sistem partriarki yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kita. Jika ini tidak ditangani, (tentu saja ini membutuhkan waktu yang panjang) maka saya khawatirkan dari gender stereotype ini akan melahirkan kekerasan baru bagi individu yang telah mendapatkan cap atau labeling. Bisa saja, cap atau labeling itu akan membuatnya terusir dari komunitas, atau mengucilkan diri dari komunitasnya. Di negara-negara maju seperti Korea Selatan misalnya, stereotype berakibat fatal karena membuat seseorang depresi dan berujung pada bunuh diri.

Ketiga; perlakuan negara. Kenyataannya Halima adalah seorang perempuan nelayan. Namun ketika ditanya apa itu profesi nelayan? Maka jawaban yang ada dalam isi kepala kita adalah profesi yang diasosasikan berada di ranah maskulinitas dan kuasa laki-laki. Perempuan yang memberikan kontribusi dalam usaha perikanan tidak mendapatkan perlindungan dan pengakuan sebagaimana definisi nelayan yang ada dalam otoritas laki-laki. Pun seperti Halima yang beraktifitas langsung di laut. Jikalau ada, maka ia harus melewati birokrasi kompleks yang merupakan warisan kolonial. Inilah alasan kenapa saya ragu bahwa Halima tercatat dalam data nelayan skala kecil di atas.

Di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri saat ini mengeluarkan kebijakan tentang identitas tunggal bagi profesi nelayan melalui kartu KUSUKA (Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan). Sederhananya kartu KUSUKA bisa menjadi asuransi karena merupakan kartu perlindungan dan pemberdayaan bagi nelayan dan pelaku usaha yang berkaitan dengan kelautan dan perikanan. Tapi apa lacur, sekali lagi, dalam aspek gender, KUSUKA ini hanya berpihak pada dominasi laki-laki.

Kondisi ini kira-kira persis seperti apa yang digambarkan oleh Michel Foucault, seorang pemikir asal Prancis dalam bukunya yang masyur; “Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas”, dimana kekuasaan negara mampu mengatur hasrat, kenikmatan, atau imaji seksualitas yang tabu, bahkan kekuasaan negara bisa memunculkan represi seksualitas pada sebuah komunitas. Misalkan tentang bagaimana mengatur perilaku dan identitas seksual; atau mengatur tentang siapa berhak mendapatkan apa berdasarkan identitas seksual seseorang.

Contohnya lewat kartu KUSUKA tadi. Di KTP (Kartu Tanda Penduduk), biasanya profesi Halima akan tertulis sebagai ibu rumah tangga. Profesi yang bahkan oleh negara disebut sebagai profesi, tapi tidak diakui sebagai sebuah nilai dalam pekerjaan. Sehingganya jika Halima yang seorang perempuan ingin mendapatkan akses perlindungan dan pengakuan lewat kartu KUSUKA, maka syarat dan ketentuan yang harus ia lewati adalah mengubah kolom KTP-nya dari ibu rumah tangga menjadi nelayan.

Sehingga untuk alasan inilah, saya mendefinisikan Halima sebagai perempuan nelayan, bukan nelayan perempuan. Karena untuk bisa disebut sebagai nelayan perempuan, maka Halima harus mengubah profesi dalam KTP-nya adalah nelayan. Profesinya di KTP sebagai ibu rumah tangga namun beraktifitas pada ranah nelayan yang dikuasai laki-laki itu berdampak pada dirinya yang tidak bisa mendapatkan bantuan perahu atau bantuan alat tangkap dan sebagainya. Maka sekuat-kuatnya Halimah menabung dari hasil tangkapan gurita, ia hanya mampu membeli perahu bekas.

Realitas ini menunjukkan bahwa dalam perikanan, perempuan adalah subordinat dan tidak mendapatkan posisi penting yang diakui oleh negara, bahkan cenderung mendapatkan represi. Dengan demikian, ini bagian dari cara negara mengoperasikan kekuasaan dan kekerasan pada tubuh seseorang hanya karena dia perempuan.

Tentu saja ketidakadilan dalam perikanan ini tidak hanya terjadi pada orang seperti Halima. Tapi juga pada perempuan-perempuan yang ada di pesisir dan hidup di pulau yang dianggap tidak penting dalam sektor perikanan. Padahal tanpa peran perempuan, setiap usaha perikanan tidak akan berjalan dengan baik. Kenapa? Karena perempuan memainkan peran penting mulai dari persiapan penangkapan ikan, menangkap, hingga pasca tangkap atau panen, dimana perempuan mempunyai andil besar.

Dus, bagi saya, film “Halima dan Perahu Bekas” ini adalah sebuah cermin bagi kita untuk membongkar atau setidaknya memahami, bagaimana lapisan ketidakadilan dan kekerasan merupakan cara negara menjalankan kekuasaannya,-yang alih-alih mengeluarkan masyarakat pesisir marginal dari jerat kemiskinan,-justru seperti menciptakan labirin kemiskinan, dimana masyarakatnya sulit pulang untuk mencari jalan keluar.

Lalu apa yang bisa dilakukan orang-orang seperti Halima? Seperti dalam filmnya, yang bisa ia lakukan hanyalah meratapi nasib dengan syair yang dilagukan. Sendu dan kelabu.***

Exit mobile version