Site icon WARTANESIA

Digugat, Pilkada DKI dan 101 Daerah, Resmi Digelar 2022?

WARTANESIA – Mahkamah Konstitusi (MK) akan melaksanakan Sidang Perkara Nomor 67/PUU-XIX/202 dan akan mulai disidangkan pada Pukul 13.30 WIB, Senin, Tanggal 10 Januari 2022.

Persidangan ini dilakukan untuk menguji Pasal 201 Ayat (7) dan Ayat (8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU No.10/2016).

“Pada pokoknya kedua norma tersebut menentukan hasil pemilihan
Tahun 2020 hanya menjabat sampai dengan Tahun 2024 dan pemilihan kepala daerah secara nasional dilaksanakan secara serentak pada bulan November 2024,” ujar Ahmad Irawan, selaku Pemohon Perkara , Rabu (05/01/22).

Menurut Irawan, alasan konstitusional dalam perkara tersebut, diantaranya; UU No. 10/2016 merupakan perangkat regulasi yang dimaksudkan untuk melakukan penyempurnaan agar pemilihan kepala daerah yang demokratis senantiasa diupayakan efektif dan efisien sehingga diambil kebijakan untuk menyerentakkan.

Selanjutnya Irawan menjelaskan Norma yang diuji memberikan implikasi konstitusional pada kosongnya masa jabatan secara bervariatif mulai dari 1 (satu) tahun sampai dengan 2 (dua) tahun dan hasil pilkada 2020 masa jabatannya hanya 4 (empat) tahun, bahkan ada lagi yang kurang dari itu karena keterlambatan waktu pelantikan.

Meskipun ada opsi jabatan yang kosong akan diisi oleh penjabat, hal tersebut tidak memiliki legitimasi politik karena pejabatnya tidak pernah dipilih secara langsung dan melibatkan rakyat atau bahkan sekedar melibatkan wakilnya di DPRD sehingga penjabat yang dipilih tersebut tidak memiliki ikatan emosional dengan rakyat pemilih dan menurut penalaran yang wajar akan menurunkan kualitas pelayanan publik.

Pemilihan serentak yang telah berlangsung sebelumnya berdasarkan periodesasi waktu pemilu 5 (lima) tahun sekali dan sesuai dengan akhir masa jabatan telah mencapai maksud dan tujuannya.

“Kepastian waktu pemilu membuat warga negara dapat memprediksi, memiliki kepastian dan dapat mempersiapkan diri mengikuti pilkada sehingga tidak harus menunggu waktu hingga 7 (tujuh)
tahun lamanya untuk mengikuti pemilihan berikutnya yang direncanakan pada bulan November 2024,” lanjutnya.

Berdasarkan penuturan Irawan, pemilu yang serentak dengan pilkada pada tahun yang sama Tahun 2024 akan membuat beban dan biaya penyelenggaraan berlebih. Selain itu, kekuasaan penyelenggara pemilu yang menurut konstitusi bersifat nasional dan tetap pasca penyelenggaraan pada Tahun 2024 akan mengalami disfungsi kekuasaan dengan telah dilaksanakannya semua jenis pemilu dalam satu waktu di tahun yang sama.

“Oleh karena itu, kepada Mahkamah Konstitusi kami meminta agar kedua pasal tersebut dinyatakan konstitusional secara bersyarat bahwa masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pilkada serentak Tahun 2020 masa jabatannya selama 5 (lima) tahun sehingga harus menjabat sampai dengan Tahun 2025 atau menjabat 5 (lima) tahun sejak
dilantik dan serentak pemilu lokal dilaksanakan sesuai dengan akhir masa jabatan,” ujar irawan.

Artinya, jika Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dilantik pada Tahun 2017 dan akhir masa jabatannya berakhir pada Tahun 2022 beserta 101 daerah lainnya, dan dengan dikabulkannnya gugatan ini oleh MK, maka penyelenggara pemilu secara imperatif akan melaksanakan pilkada pada Tahun 2022 sesuai dengan akhir masa jabatan.

“Begitu juga 170 daerah lainnya yang akan habis masa jabatan pada tahun 2023, dengan dikabulkannya gugatan ini akan tetap pilkada pada tahun 2023,” pungkasnya. (**)

Exit mobile version